8 Dapil dan “Menjegal” Caleg Pelaku Politik Uang


Aletheia.id – Pasca perubahan jumlah Daerah Pemilihan di Luwu dari 4 Dapil menjadi 8 Dapil, Tensi Pemilihan Umum untuk Caleg DPRD Luwu 2024 di pastikan meningkat. Para petahana yang sebelumnya merawat basisnya dengan rumusan 4 dapil kehilangan lumbung suara. Tak hanya itu, dana aspirasi nyaris tak tepat sasaran dalam rumusan elektoral. Idealnya penataan Dapil tidak dimasukkan sebagai satu tahapan Pemilu.

Wilayah dapil yang semakin mengecil membuat keterwakilan anggota DPRD setiap kecamatan di wilayah di Luwu menguat namun disatu sisi praktik politik uang diperkirakan semakin meningkat. Situasi ini harus menjadi perhatian publik agar hasil Pemilu dimasa depan tak memunculkan perwakilan yang terputus dari rakyat.

Menjegal Caleg Pelaku Politik Uang

Praktik politik uang sebagai ikhwal mula terputusnya rasa pertanggung jawaban kekuasaan terhadap konstituen harus dijadikan sebagai musuh bersama. Logika terbalik dalam pertanggung jawaban kekuasaan seperti ini membuat para elit semenjadinya dalam mengambil keputusan juga membuatnya abai sebagai juru bicara publik dalam menjalankan fungsi kekuasaanya.

Secara hukum, tindak pidana politik uang tertulis dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 pada Pasal 278, 280, 284, 515 dan 523 tentang Pemilihan Umum. Pada Pasal 523 ayat (1) sampai ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terdapat tiga kategori sanksi politik uang berdasarkan waktunya, yakni pada saat kampanye, masa tenang, serta saat pemungutan dan penghitungan suara.

Baca juga: Tips Memilih Caleg 2024

Adapun dalam Pasal 523 ayat (1), sanksi yang dikenakan ketika seseorang terlibat dalam politik uang saat kampanye adalah pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta. Sedangkan sanksi politik uang ketika masa tenang berdasarkan Pasal 523 ayat (2) adalah pidana penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak Rp 48 juta.

Selain dijatuhi sanksi pidana bagi caleg yang terbukti melakukan politik uang, dalam pasal 285 pelaku politik uang disebutkan akan dibatalkan oleh KPU Kabupaten/Kota sebagai calon terdaftar dalam DCT atau jika ia terpilih dibatalkan sebagi Calon terpilih

Pasal 285 “Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 dan Pasal 284 yang dikenai kepada pelaksana Kampanye Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang berstatus sebagai calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota digunakan sebagai dasar KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk mengambil tindakan berupa:
a. pembatalan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari daftar calon tetap; atau
b. pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai calon terpilih.”

Ketentuan tersebut dapat digunakan oleh publik ataupun sesama tim calon anggota DPRD untuk melaporkan kepada Bawaslu jika menemukan praktik politik uang tersebut. Pasal ini dapat menjadi perlawanan serius terhadap praktik kotor politik uang.