Dari Surat Kabar Ke Pamflet


Aktivis demonstran tahun 66, Arief Budiman. Foto: ANT

Ketika seorang pemimpin redaksi surat kabar dipanggil  oleh pimpinan sebuah golongan politik, dia ditanya apakah mau berkampanye untuk golongan ini, maka pemimpin redaksi tersebut menjawab: “Memang saya bersimpati pada golongan Saudara lebih daripada golongan-golongan politik lainnya. Tapi hendaknya Saudara sadar akan fungsi pers. Bagaimanapun juga, fungsi pers yang utama adalah kontrol sosial. Kalau fungsi ini sudah dikhianati sendiri, maka apa yang diterbitkannya bukan lagi pers namanya, melainkan pamflet. Jadi, meskipun saya bersimpati kepada golongan Saudara, janganlah Saudara harapkan bahwa saya akan menutup mata kalau ada praktik-praktik dari golongan saudara yang saya anggap merugikan kepentingan rakyat. Bagaimanapun juga, pertama-tama saya adalah seorang wartawan, bukan politikus. Dan kedua jabatan tersebut mempunyai fungsinya sendiri-sendiri yang berlainan dalam mengabdi kepada bangsa ini.”

Karena kesadaran akan perbedaan fungsi inilah barangkali, maka mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Jabar pada tahun-tahun demonstrasi mahasiswa dulu, pernah mendapat pujian dari sarjana-sarjana Universitas Cornell beberapa tahun yang lalu. Keunggulan mingguan tersebut adalah di samping diidentifikasi sebagai salah satu koran “Orde Baru” yang militan, dia juga bersikap sangat kritis terhadap praktik-praktik buruk kekuatan “Orde Baru” itu sendiri yakni ABRI dan para mahasiswa. Pojok-pojoknya dan karikaturnya serta tajuk rencananya, sangat keras menyerang korupsi dan kesewenang-wenangan di kalangan ABRI, juga sangat keras mengkritik para pemimpin mahasiswa yang menjadi politisi-politisi kecil dan mengeksploitasi jasa-jasanya pada 1966 menjadi fasilitas dagang untuk kepentingan pribadinya.

Kalau sarjana-sarjana Cornell disuruh menilai lagi sekarang, barangkali akan lain hasilnya. Tentu saja adalah hak dari setiap orang—dan setiap surat kabar—untuk berpihak kepada salah satu golongan politik tertentu, apalagi menjelang pemilihan umum ini. Dan adalah hak mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Jabar untuk berpihak, seperti yang terjadi sekarang ini, kepada Golongan Karya; seperti halnya dulu dia memihak kepada kekuatan melawan rezim Soekarno. Tapi berlainan dengan dulu, akhir-akhir ini tampak bahwa mingguan ini memakai filsafat right or wrong is my Golkar. Dan dia terlalu kritis terhadap apa saja yang dilakukan partai-partai politik. Bahkan dia segera menilai negatif kepada kekuatan-kekuatan di luar partai Golkar yang mempunyai pendapat sendiri dalam bekerja untuk bangsa ini, hanya semata-mata kerena kelompok ini tidak mau ikut Golkar.

Apa yang terjadi adalah, bila mingguan ini dulu berkoalisi dalam cita-cita dan kekuatan melawan rezim Soekarno, kini dengan Golkar dia melakukan koalisi politik sebagai satu golongan. Maka adalah wajar fungsi social control-nya jadi sangat kurang, fungsi politiknya jadi tambah mencolok. Atau dengan perkataan yang lebih keras, mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Jabar, dari surat kabar kini beralih jadi pamflet.

Apa yang terjadi pada harian terkenal Indonesia Raja polanya sama, meskipun ada perbedaannya. Trade mark harian ini adalah keberaniannya mengatakan apa yang benar tanpa tendeng aling-aling. Tidak ada kekuatan apapun yang dapat membuatnya berkata lain, sehingga setiap penguasa yang sudah tidak tahan lagi menghadapinya hanya punya satu cara: membunuhnya. Itulah yang dilakukan Soekarno dulu, yang membuat harian ini menjadi mitos.

Baca juga: ESAI TENTANG ESAI

Ketika Indonesia Raja muncul lagi sesudah 1966, “trade mark” tidak berubah. Dia berani menantang segala macam jenderal yang korup untuk membawanya ke pengadilan, bila mereka merasa bahwa apa yang dituliskan tentang korupsi di Indonesia Raja  sebagai hal yang tidak benar. Seorang militer pensiunan pernah menjawab tantangan itu, mengajukan harian itu ke pengadilan dan dia dikalahkan.

Juga gambaran bawa Indonesia Raja merupakan koran rakyat kecil, terus dipelihara. Perkara seorang tukang becak yang ditahan polisi kemudian mati karena perlakuan sangat buruk selama ditahan, menempati halaman pertama harian ini lengkap dengan potret-potret yang besar. Harian ini juga pernah membuka rubrik yang bernama “ yang terinjak dan terperkosa”, di mana rakyat kecil yang diperlakukan sewenang-wenang oleh orang-orang yang berkuasa, dapat mengadukan nasibnya. Di sinilah kekuatan harian ini—dia merupakan suara hati yang bersih dari rakyat tertindas.

Tampaknya dalam situasi pemilihan umum ini, Indonesia Raja ingin juga ikut berpolitik. Dan seperti juga Mahasiswa Indonesia edisi Jabar, segala-galanya berubah sekarang. Harian ini memihak Golkar—tentu saja adalah haknya. Dan dia berbicara tentang kehebatan-kehebatan Golkar, apa saja yang dikatakan oleh tokoh-tokoh Golkar mendapat sambutan baik, dari tajuk sampai pada pojoknya.

Prof. Arief Budiman PhD/Soe Hok Djin

Sumber tulisan, buku “Kebebasan, Negara, Pembangunan” karya Arief Budiman