Lensa memburam tak mampu memotret secara kontras. Kala itu, hujan menghentikan kedipan lensa seorang gadis berambut lurus. Gadis itu memasukkan kameranya kedalam tas sampingnya. Kita mau berteduh dimana ? tanya gadis itu kepada bocah yang berjinjit menghindari genangan air didepannya. Sang bocah menunjuk keujung jalan, disana kita beristirahat.
Baru beberapa langkah meninggalkan tempatnya, gadis itu berhenti. Tatapannya tajam tertuju pada segerombol anak muda dan anak kecil yang menyudut dipojok jalanan. Ia menahan gerak anak kecil untuk tak melanjutkan perjalanannya. Seorang laki laki berperawakan tegap, rambut cepak sementara duduk bersila. Laki laki itu nampak merogoh kantongnya. Ditariknya bungkusan plastik itu lalu disodorkan kepada anak anak muda disekitarnya.
Aku mengenali orang itu bisiknya. Dengan sigap ia membuka tasnya, tangannya lincah menarik kamera. Ia tak berpikir bahwa hujan akan merusak kamera yang selalu menemaninya. Dalam hitungan detik beberapa kedipan lensa telah mengabadikan suatu kejadian yang ia sering dengar. Ayo kita kerumahmu, tangan gadis itu mencengkram lengan anak kecil yang menemaninya.
Rerintik hujan mendera subuh yang sunyi. Kerumunan orang berkumpul. seorang gadis tergeletak di samping jalan, kakinya berlumur darah, lecet ditangannya seperti terbentur benda keras, lebam nampak disekitar wajahnya, juga pada bagian tangannya. Satu tas kain hitam berbentuk kotak masih dirangkulnya, seperti tas itu tinggal satu satunya benda berharga yang ia miliki dan tak ia ingin lepaskan dalam keadaan apapun dan kepada siapapun. Lima menit sebelumnya terjadi penjambretan, kejadian begitu singkat tak ada yang memerhatikan mengapa itu terjadi.
Beberapa orang datang menenteng kamera. Dari id card yang menggantung dilehernya mereka adalah wartawan. Ini Resya.. ucap salah satu dari wartawan yang datang dengan suara agak meninggi, lelaki bertubuh gempal dengan perut melebar itu gelisah. Resya wartawan perempuan dengan tulisan tulisan yang kadang membuat tuan penguasa sibuk mencari siasat menyelamatkan diri dari kejahatannya.
Apa yang terjadi tanya wartawan kepada orang yang berada ditempat kejadian. Wanita ini dijambret subuh hari. Siapa yang melihat kejadian, saya sebut seseorang berambut ikal. Bagaimana kejadiannya ? tanyanya memburu keterangan. “Subuh hari ketika saya keluar dari mesjid sehabis shalat subuh saya melihat wanita ini dijambret, saya menyaksikannya sendiri”. Beberapa wartawan mendekat sepertinya di jambret karena kameranya telah hilang, tasnya sudah kosong.
Edo memencet mencet tuts hp samsungnya. Ia semetara melaporkan kejadian yang ia lihat. Beberapa keterangan orang di tempat kejadian cukup untuk menjadi berita. Dalam hitungan menit beritanya telah dimuat dimedia online. Berita pun menyebar. Tidak hanya media online Edo yang memberitakan. Media online yang lain segera menyambar berita tersebut dengan judul judul yang berbeda, Resya dijambret, begini kejadiannya. Tragis wartwan ini meninggal setelah dijambret dan aneka judul lainnya. Sayang kita bukan media online berita ini banyak pembacanya apalagi korbannya adalah resya ucap Elias agak tersenyum. Kita kehilangan wartawan yang sering mengulas kejadian kejadian yang membuat pemerintah di kota ini kadang tak menikmati makanannya dengan lahap. Esok hari berita kita akan terbit karena kita ini media cetak.
Satu bulan berlalu, polisi menyatakan bahwa tak ada hubungannya antara pekerjaan Resya dengan kematiannya, tak ada hal yang aneh.
Masih pagi, kantor realita belum terbuka, seorang bocah kecil duduk diemperan kantor. Sejak pagi ia menunggu suatu hal yang misterius. Seorang wartawan lewat, lalu menyuruh bocah kecil itu untuk meninggalkan emperan kantor, sebelumnya ia menyodorkan uang kepada anak kecil itu.
Saya mau ketemu dengan Airas anak kecil itu menyampaikan maksudnya.
Mengapa mau bertemu Airas, apakah kamu kenal dengan orang itu ? sang wartawan bertanya balik dengan tatapan aneh.
Saya ada pesan untuk orang itu dari Resya dan hanya nama itu yang diberitahukan padaku.
Resya sudah meninggal sebulan lalu. Anak kecil itu nampak kaget. Tetapi satu bulan yang lalu ia menitipkan sesuatu pada ku. Aku hanya mau menyerahkan apa yang dititipkan padaku. Dengan terburu – terburu wartawan itu mengajak anak kecil masuk.
Pa Airas yang sementara memimpin rapat. Wartawan yang masuk tanpa memerhatikan apa yang dilakukan oleh orang dikantornya. Pak, ada anak kecil yang mau ketemu katanya penting bisiknya pelan. Ayo duduk sambut Airas dengan senyum. Sebentar saja sebab kami sementara rapat jadi saya punya waktu hanya sebentar.
Siapa namamu anak kecil ? tanya Airas.
Saya Warta pak. Wah nama yang bagus.
Pesan apa yang mau kau sampaikan ?
Tanpa menjawab. tangan kecil Warta dengan lincahnya merogoh kantongnya. ia mengambil benda kecil yang terbungkus kertas. Ini yang mau saya serahkan. Airas membuka kertas itu. Matanya berhenti berkedip pada kertas itu tertulis nama Resya dengan tanda tanggannya. Tulisan itu hampir kabur tetapi masih bisa terbaca.
Buat kawan kawan pewarta realita. Mungkin surat ini adalah tulisan terakhirku, sebab aku menduga bahwa kepergian akan segera mendatangiku, meninggalkan bidikan bidikan lensa yang menjadi ceritaku selama ini.
“temanku yang baik, lensa mampu memotret kenyataan tetapi ia bisa pula mengaburkan kenyataan. Lensaku hanya untuk memotret kebenaran, bukan untuk memotret keabadian kejahatan. Kejahatan hanya bisa ditelanjangi dengan bidikan bidikan kamera ku, kamera kita, dan tulisan membawa para pewarta menggiring para penjahat masuk ke dalam kesuraman kehidupan yang paling tak menenangkan.
Lensaku bukan mengaburkan kenyataan, tetapi menkontraskan kenyataan, bidikan kameraku untuk melukai setiap penjahat, bukan untuk melukai orang banyak. Semakin dekat lensa kamera dengan penguasa semakin kaburlah lensaku, aku takut bahwa ketika lensaku semakin dekat dengan kekuasaan daya tangkapnya tak lagi jelas, butuh ketenangan, dan ketenangan bukan hanya soal yang membidik, ketenangan biasanya datang dari kekuasaan.
karena itu aku jarang ditempat tempat mewah itu, sebab disana kejahatan menyelinap dan bersembunyi dan kita bahkan menjadi pulas disana. Aku telah menghindari semua itu agar lensaku masih berguna.
Sabtu 12 Januari beberapa jam sebelum aku menulis surat ini aku telah memasukkan seketika chip kameraku, aku harus bersiasat, menyembunyikan untuk membuka topeng para “dewa” ketika hujan mengguyur tempat dimana kejahatan disembunyikan sekaligus di sucikan.
Satu orang dari penguasa kota ini telah aku saksikan menjadi pemain yang mahir dari binasanya masa depan anak anak muda, aku telah menyaksikan seorang bocah kecil bernama Warta telah kehilangan orang tuanya karena narkoba. Dan penguasa itu telah aku bidik dengan lensa ku tanpa mengenal hujan, lensaku boleh rusak, kameraku boleh rusak, tetapi tak apa ketika ia membidik kejahatan, dan setelahnya rusak. Aku tak bisa menerima lensa yang bagus memotret kesenangan pengusa. Aku tak tau jika bocah bernama Warta tak menemukan keselamatan, dan aku tak mau bidikan bidikan kameraku hanya untuk mengabadikan kekuasaan yang palsu dan akhirnya Warta menjadi korban berikutnya. Bagiku bocah Warta harus tetap hidup, karena dia adalah anak kecil yang bisa tumbuh dari cerita cerita yang baik – bahkan menjadi pewarta sesungguhnya.
Kawan, aku telah sering mendapatkan warna cerah dari bunga – bunga, dan aku tau bagaimana menipu dari rekayasa itu. Tetapi semakin dekat lensa semakin bergoyang tangkapannya. Aku butuh kehati hatian, karena itu aku menjauh dari ketakutan itu dengan menjadikan kameraku sebagai pemburu kebenaran, mengubur kepalsuan. Dan ketika surat ini sampai mungkin aku telah tiada, karena itu aku menulis dan menitip gambar raut wajah sang pendosa yang sering dipotret oleh teman temanku sebagai dewa.
Airas segera memasukkan chip kecil kedalam laptopnya. Ini yang aku butuhkan, selama satu bulan kita telah mencari apa yang sebenarnya terjadi. Dalam chip memory itu nampak seorang yang tak asing, penguasa kota yang menyerahkan bungkusan plastik kecil kepada anak anak muda. Seorang laki laki yang dimedia online menjadi saksi atas musibah yang menimpa Reisya, orang yang mengatakan aku keluar dari mesjid dan aku menyaksikan kejadian itu. Begitu mudah orang percaya pada suatu bahasa yang memilki Tuhan.
Besok kita akan memberitakan kebenaran,bukan memberitakan gambar-gambar penguasa. Ungkap Airas. Dan, Warta kecil ini akan kita dididk disini
Hajaruddin Anshar