Lesung Kita yang Hilang


Tangan perempuan berganti – ganti, mengayun alu, di atas kayu memanjang yang mencekung. Tangan kuat memindah dari satu tangan ketangan lain setelah menumbuk.  Beberapa centi disampingnya ada lubang ke dalam. Sebuah tanda beras dari sawah dan ladang akan dinikmati, begitu pula kopi sebagi sahabatnya. Ibu-ibu kuat melakukan itu.

Soal lesung. Bukan soal apakah ia masih menjadi suatu alat yang paling dominan atau tidak dalam budaya agraris masa kini. Dibalik itu, ada ‘tradisi’ yang selalunya syarat  nilai, lalu kita pilah menjadi rujukan kebudayaan. Pada dimensi ini, memang kita harus meminum kopi untuk memikirkannya lebih mendalam.

Pembangunan yang bertumpu pada perkebunan skala besar. Lalu industrialisasi tetiba berkembang pesat, memberi citra tradisional yang dianggap ‘kolot’ terhadap praktek tersebut. Melihat dari sisi semata kongkrit menjadikan ‘budaya yang memang abstrak’  dibaliknya tersisih,suatu yang dilupakan kemudian.

Lesung, memang wajah kehidupan tradisional budaya agraris. Dibalik lesung, ada ritus keterhubungan manusia, alam,dan sesuatu yang dianggap sakral; Tuhan, yang pada akhirnya mensyaratkan suatu keterjagaan, kesinambungan dan pelibatan nilai nilai ilahi dalam proses kehidupan manusia.

Lesung merupakan simbol pertautan kehiupan manusia, rumah kebudayaan; Keterjagaan, keseimbangan dan sesuatu yang sakral. Lesung menyerupai lembah tempat berkumpul sumber kehidupan. Tidak mungkin lesung ada jika padi tidak mampu lagi tumbuh subur, air sungai tidak lagi mengalir deras, musim tidak teratur, karena keteraturan kehidupan hubungan manusia dengan alam menjadi perhatian utama dalam budaya agraris.

Kala musim panen, ritual syukur dihelat, orang-orang menari, dan  bunyi lesung yang didentumkan sedemikian rupa mengiringi. Kala gerhana matahari masyarakat melakukan hal yang sama, ada suatu ketidak seimbangan alam yang terjadi.

Climate Change, mengakibatkan ‘guru bagi petani’ hilang; rasi bintang, perputaran bulan menjadi tidak berguna. Petani yang hidup dalam keteraturan, keseimbangan alam kemudian menjadi korban. Kekayaan pengetahuan local pun ditindas.

Isu-isu global seperti pengendalian perubahan iklim terus disebarkan, tetapi disisi lain pembanguan bersumber dari ekstraksi sumber daya alam dan perkebunan skala besar seperti sawit tetap menjadi pijkan pembangunan. Bukankah kita sementara berada diruang dimana kita dituntut untuk mengendalikan perubahan iklim yang juga telah merampas pengetahuan local, membunuh guru bagi petani.

Bunyi lesung adalah penanda keterjagaan kehidupan manusia. Lebih dari itu, lesung menjadi alat pelekat secara kultural “nilai yang dibatinkan” dalam suatu kolektifitas. Gotong royong jiwa kebangsaan dulunya disepuh lewat alat ini.

Tempus mutantur , et nos mutamur in illid, waktu berubah dan kita ikut berubah didalamnya. Istilah masa Yunani Kuno yang menitik beratkan bahwa yang abadi adalah perubahan.  Tetapi dari setiap perubahan selalu ada hal yang tak bisa dilupakan “ sesuatu yang secara kolektif telah membatin”. Keterikatan yang hidup suatu yang sakral dalam komunitas.  Begitupula tentang lesung itu.

Mari kita membunyikan lesung-lesung kita, bahwa kita berada dimasa yang mengancam. Menyampaikan kabar bahwa membatinkan ‘ikatan kolektif’ yang tercerai berai itu mesti dilakukan. Juga, pembangunan harus menjaga keseimbangan. Keteraturan pembangunan harus selalu diutarakan.  Tugas kita adalah menafsirkan makna dalam proses kehidupan bersama, memebentuk, atau merubahnya sekalipun. ‘Mari kita membunyikan lesung kita yang hilang’

Mengutip Rene`Char, Ignas Kleden menjelaskan “pada mulanya kebudayaan adalah ‘nasib’, dan baru kemudian kita menanggugnya sebagai tugas. Pada mulanya kita adalah penerima yang bukan saja menghayati tetapi menjadi penderita yang menanggung beban kebudayaan tersebut sebelum bangkit dalam kesadaran untuk turut membentuk dan mengubahnya.  Pada dasarnya kita adalah pasien’ kebudayaan sebelum kita cukup kuat untuk menjadi agen’ nya.

Tulisan ini bukan bermaskud membawa kita untuk menolak era-era baru seperti industrialisasi, pertambangan tetapi lebih memotret suatu ‘nilai cultural’ yang mampu menjadi obat terhadap kebiasaan pembangunan yang sementara meninggalkan pelaku dan tempat tinggalnya, manusia dan alam, dan seuatu yang dianggap sakral.

Lesung kita memang telah hilang, tetapi kita selalu memiliki sesuatu yang tetap berguna dalam jejak kehidupan ini. Tentang Lesung itu, kita memiliki ‘ikatan kolektif yang telah membatin’, yang mampu mengatasi huru hara, kesenjangan pembangunan kehidupan manusia.

Hajaruddin Anshar