Demokrasi Desa, tenggelam. Karam dari perbincangan publik. Resonansinya tak seriuh proses pemilihan Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau pemilihan Kepala Daerah, apalagi dibandingkan dengan Pemilihan Presiden dengan seonggok teatrikal politiknya. Demokrasi Desa menyusuri jalan sunyi, ia menyendiri karena itu kelak kita tak tahu dimana ia tiba.
Demokrasi Desa luput dari ucapan dan talk show menguatkan demokrasi Indonesia, oleh para politisi, media mungkin juga oleh kalangan aktivis. Padahal yang terpilih memimpin di Desa turut memberi surplus menguatnya politik uang dilevel masyarakat Desa. Jika tidak segera berbenah imunitas demokrasi akan semakin melemah mungkin kelak kita tak mengenal apakah benar kita berada dalam sistem “demokrasi”.
74.957 Desa di Indonesia, bukanlah jumlah yang sedikit. Dari sana suara diperebutkan dengan segala muslihat. Tak tanggung-tanggung ketika proses formal demokrasi berlangsung, segala perangkat ditingkat Desa dari Kepala Desa, BPD, Kepala Dusun, RT, PNS, hingga tokoh masyarakat hendak dikuasai; muasal perebutan akses, mencari suara untuk para kandidat.
Pemilu dan Salah Jalan Demokrasi
Donald L Horowitz dalam buku Perubahan Konstitusi dan Demokrasi di Indonesia menyebut pasca reformasi 1998, Indonesia menempuh jalur lain. Pemilu secara dini, terburu-buru dilakukan sebelum masyarakat sipil yang lumpuh pada masa orde baru memiliki kesempatan untuk terbebas dari refresi dan sebelum partai-partai baru dengan agenda nasional membangun dukungan massa atau yang sering kita dengar dari elit partai sebagai “konstituennya”.
Faktanya 48 partai yang terlibat dalam agenda pemilu pertama pasca reformasi 1998 dimenangkan oleh PDI-Perjuangan, Partai Golkar serta Partai Persatuan Pembangunan disusul Partai Kebangkitan Bangsa dan beberapa partai baru lainnya.
Pemilu sebagai sarana melakukan evaluasi terhadap lembaga legislatif dan eksekutif terus menuai jalan buntu. Oleh Burhanuddin Muhtadi dalam buku Populisme Politik Identitas dan Dinamika Elektoral sebenarnya menaruh harap bagi demokrasi. Bagi Muhtadi setidaknya demokrasi mempunyai dua hukum besi yang baik untuk pembangunan bangsa.
Pertama, dalam demokrasi ada partisipasi publik dan akses informasi dibuka lebar sehingga ada pintu untuk mengontrol dan menekan penyalah gunaan kekuasaan. Kedua, demokrasi memiliki pemilu sebagai prosedur formal untuk menendang Parpol atau politikus korup keluar lapangan.
Memilih Pemilu sebagai agenda pertama pasca Reformasi memang membuat aktor-aktor Orde baru berkeliaran mengamankan kekuasaannya disetiap Institusi Negara. Belum lagi partai politik pendatang baru di Tahun 1999 sebenarnya belum siap menghadapi Pemilu. Waktu itu, secara sosiologis masyarakat belum pulih dari situasi-situasi Orde Baru sampai ke daerah. Perolehan suara partai di Tahun 1999 menunjukkan bagaimana elit pada situasi awal pasca reformasi memilih jalan konpromi lewat Pemilu ketimbang melakukan upaya-upaya reformasi Institusi terlebih dahulu.
Menyelamatakan Demokrasi Desa
Diskursus demokrasi seperti yang diguguh Muhtadi memang benar. Demokrasi mendatangakan keterbukaan, kontrol kekuasaan, evaluasi formal eksekutif dan legislativ lewat Pemilu. Tapi jika demokrasi di Indonesia sepenuhnya dibincangkan pada desain Pemilu, baik oleh lembaga-lembaga pemerhati demokrasi, media, kelompok masyarakat sipil, berarti kita telah mengasingkan satu hal besar yang turut mempengaruhi wajah demokrasi Indonesia. Tentang Desa, apakah riset sosial melupakan itu ?
Kondisi tersebut, nampak dari uji materi Undang-Undang Pemilu di MK, masuknya Pembahasan Undang-Undang Pemilu dalam Program Legislasi Nasional di DPR RI menandai desa dilupakan atau mungkin dibiarkan menjadi tempat menjarah suara ketika Pemilu sebagai prosedur formal mengevaluasi Parpol dan politikus tiba lima tahun sekali.
Desa sebagai miniatur mini Indonesia tak boleh diasingkan oleh negara dari halaman Konstitusinya. Desa harus dilibatkan dalam percakapan langit demokrasi. sebab nyaris kita tak mendengar adanya pembahasan desain Undang-Undang Desa yang di dalamnya mengikutkan agenda penguatan demokrasi ditingkat Desa. Padahal sejak Desa memunggungi Dana Desa 2014 silam, seteru perebutan kursi Kepala Desa menggejala. Akut bahkan kronis. Kita butuh vaksin untuk menyembuhkan masa depan demokrasi Desa.
Pola perebutan kursi Kepala Desa, tak jauh berbeda dengan perebutan kursi kekuasaan baik eksekutif maupun anggota Legislatif. Hanya sedikit yang mumpuni menggebrak, terpilih tanpa menggunakan uang. Punggung para calon dibayangi kekuasaan, tak jarang dalam pemilihan Kepala Desa para pemilik kuasa terlibat, sebab masa depan anggota legislatif, juga kuasa eksekutif tentu banyak di pengaruhi oleh Kepala Desa.
Edward Aspinal dan Ward Berenschot dalam buku Demokrasi For Sale Pemilu, Klientelisme dan Negara di Indonesia menyajikan bagaimana politik uang bekerja serta struktur yang terlibat di dalamnya. Aspinal dalam hasil risetnya menyebut tak hanya politik uang terjadi dari tim pemenangan kandidat ditingkat atas, bahkan di level desa ada kelompok-kelompok tertentu yang memang menyiapkan diri untuk untuk menjadi tim pemenangan tingkat desa, meraup uang dari proses pemilu yang terjadi.
Para aktor tesebut pula yang bekerja dalam pemenangan kandidat calon kepala desa. Mereka seperti imun, bebas bertindak karena tak ada norma yang membatasinya. Kondisi ini disebabkan pembuatan Undang-Undang Desa tidak menyentuh larangan penggunaan Politik uang disertai sanksi pidana dan diskualifikasi calon kepala Desa jika terlibat politik uang. Agenda merevisi Undang-Undang Desa menjadi sangat penting untuk menyelamatkan demokrasi desa, serta menguatkan imunitas Demokrasi di Indonesia
Satu persoalan serius dalam agenda demokratisasi di Indonesia sebab negara tak pernah sampai di desa, sejak orde lama sampai orde baru. Institusi agama, etnis menjadi kekuatan mempertahankan kelompok di desa. Saat partai tumbuh dari orde baru sampai reformasi mereka meminjam institusi sosial tersebut untuk memenangi pemilu.
Dari desa percakapan demokrasi dimulai untuk Indonesia yang berdaulat.
(**)