Dalam buku Bagaimana Demokrasi Mati (2018), Professor Harvard, Steven Levistky dan Daniel Ziblatt menerangkan bagaimana demokrasi mengalami kerusakan dengan munculnya pemimpin otoriter dalam suatu pemerintahan. Demokrasi mengalami kemunduran bahkan kehancuran bukan lagi dengan cara dramatis seperti kudeta, tetapi melalui orang yang terpilih dari hasil pemilihan umum. Meskipun tak dramatis, tetapi memiliki daya destruktif yang sama.
Menurut Levisky dan Ziblat, mereka yang terpilih dari hasil pemilu mengubah konstitusi, sistem pemilihan umum dan pengendalian lembaga lembaga demokrasi. Kedua Professor Harvard tersebut menamainya sebagai kerja dari para autokrat yang melakukan konsolidasi kekuasaan agar melemahkan atau memberatkan oposisi. Serangan terhadap demokrasi dilakukan secara perlahan lahan sehingga tak membunyikan alarm demokrasi.
Paraautokrat mengusahakan terpusatnya kekuasaan dengan membeli lawan lawan politiknya dengan jabatan, lembaga lembaga pengawas dikendalikan dengan memasukkan orang titipan, memberikan jabatan kepada oposisi, jika tidak berhasil segera mereka merubah aturan-aturan secara legal. Media dibeli agar informasi kepada publik disensor.
Apa yang diutarakan Levisky dan Ziblat menekankan bahwa wajah otoritarianisme tidak melulu melalui kudeta, tetapi lahir dari hasil pemilu. Kelompok itu berupaya membentuk ruang serta memagari kekuasaan demi mengamankan kepentingan jangka panjangnya.
Gambaran Levisky dan Zibalatt terang berlangsung di Indonesia. Setelah pemilu selesai, semua anggota legislatif dengan sisa masa jabatan sebulan tiba-tiba merevisi undang undang lembaga anti rasuah : Komisi Pemberantasan Korupsi. Meskipun revisi tersebut tak masuk dalam agenda program legislasi nasional. namun, mereka tetap mengubahnya dan presiden Jokowi melalui Menteri Hukum dan HAM Yasona Laloy menyepakatinya.
Lembaga independen itu ditarik dalam rumpun legislatif, menambahkan dewan pengawas dengan wewenang yang sangat kuat; izin penyadapan, penyidikan dan penggeledahan. Usaha tersebut mengabaikan suara publik, gerakan mahasiswa dan koalisi masyarakat sipil terjadi dimana mana sekaligus merupakan protes terbesar pasca reformasi. Namun, suara publik tersebut diabaikan oleh eksekutif dan legislatif.
Mahfud MD, Menteri Koodinator Politik Hukum dan Kemanan, menyatakan bahwa presiden akan mengisi jabatan dewan pengawas dengan orang terpilih. Pilihan tersebut tidak memadai dalam bangunan penguatan sistem pemberantasan praktik korupsi jangka panjang, harus dipahami bahwa dewan pengawas dengan kewenangan besar yang dimilikinya cendrung dimanfaatkan oleh kekuasaan, disinilah Undang-Undang tersebut menjadi jalan lebar bagi intervensi kekuasaan di masa yang akan datang.
Selanjutnya, Jokowi menarik Prabowo masuk kedalam kekuasaan sebagai menteri pertahanan. Praktik ini oleh Levistsky & Ziblat untuk menenangkan lawan politik dengan memberikan imbalan berupa jabatan. Akibatnya, hanya PKS yang menyatakan sebagai oposisi. Penarikan rival politik kedalam kekuasaan mengakibatkan pelemahan terhadap lembaga kontrol pemerintahan.
Baca juga : Cilaka Kabar Buruk untuk Aletheia
Posisi startegis di Lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pun tak luput diintervensi sebagai sarana tawar menawar kekuasaan. Melalui penambahan unsur pimpinan MPR yang semula lima lalu menjadi 10, semua partai diakomodir dalam unsur pimpininan MPR. Yandri Susanto ketua DPP PAN menyebut bahwa penambahan jumlah pimpinan untuk membangun kebersamaan dalam mengandemen terbatas UUD 1945. Mardani Ali Sera dari partai PKS menyatakan bahwa amandemen konstitusi kedepan akan dimenangkan oleh para oligarki ketimbang mencari kebaikan bersama.
Selain itu, perubahan sistem pemilu pun diusulkan, kepala daerah hendak dipilih oleh DPRD, sementara Presiden diwacanakan dipilih melalui MPR. Wacana pemilihan presiden lewat MPR tersebut telah lama disampaikan Bambang Susatyo ketika menjadi ketua DPR menyampaikan bahwa wacana itu dari masyarakat. Ia lalu terpilih secara aklamasi menjadi ketua MPR, Megawati memang menginginkan aklamasi itu. Melalui Bambang Susatyo, Nahdatul Ulama menyarankan agar pemilihan presiden dikembalikan ke MPR .
Seluruh partai yang bergabung dalam kabinet Jokowi menyambut wacana tersebut tanpa kata tolak. Padahal sistem presidensial merupakan hasil penting dari reformasi pasca jatuhnya rezim Soeharto yang otoriter. Arif Wibowo Fraksi PDIP menyebut usulan tersebut harus dikaji secara mendalam. Sementara Jazilul Fawaid wakil ketua MPR dari PKB menilai perihal pemilihan presiden kembali dipilih MPR , PKB akan memikirkan cara agar semua fraksi yang ada di MPR menerima usulan tersebut.
Pemilihan Presiden oleh MPR jelas mengabaikan penguatan sistem presidensial yang terus dibenahi. Partai politik koalisi Jokowi berkeinginan memutus kekuasaan rakyat menjadi kekuasaan partai politik yang oligaki. Memang tak bisa dipungkiri bahwa tradisi oposisi partai di Indonesia pasca reformasi bukan karena perbedaan kebijakan ataupun ideologi, tetapi lebih sering karena kekalahan dalam pemilu presiden. Namun partai oposisi itupun bisa saja berubah, mereka memilih berkoalisi dengan pemenang pemilu ketika mereka mendapat imbalan jabatan dari pemerintah misalnya menjadi menteri.
Meskipun Jokowi pada akhirnya berusaha mengakhiri perdebatan pemilihan presiden melalui MPR, tetapi wajah kontur politik Indonesia arenanya telah dikuasai para autokrat, sehingga wacana perubahan sistem pemilu yang telah diedarkan kedalam wacana publik bukan hal main main. Jalur itu terancang dalam benak mereka ; melakukan pemusatan kekuasan, lembaga – lembaga penyeimbang kekuasaan, lembaga anti korupsi dikendalikan, serta sistem pemilu hendak dirubah. Sesekali bisa muncul dan tak terbendung.
Dengan demikian, kita harus sadar bahwa metabolisme demokrasi kita tak sehat, pemusatan kekuasaan oleh para autokrat hasil pemilu suatu hal yang sangat mengkhawatirkan dalam upaya membangun demokrasi di Indonesia. Oleh Richard Dagger menyebut bahwa dibalik pemusatan kekuasaan, korupsi kekuasaan sedang berlangsung.
Penulis : Hajaruddin Anshar (Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik UNHAS)