Aletheia.id – Dalam Ensiklopedi Britannica, diberikan perumusan esai sebagai berikut: “Esai adalah karangan yang sedang panjangnya, biasanya dalam bentuk prosa, yang mempersoalkan suatu persoalan secara mudah dan sepintas lalu – tepatnya mempersoalkan suatu persoalan sejauh persoalan tersebut merangsang hati penulis”.
Tampaknya, dalam perumusan ini esai bukanlah studi ilmiah yang baku, penuh dengan kehati-hatian dan tanggung jawab ilmiah yang menekan. Esai, seperti juga studi-studi ilmiah, mempersoalkan, tetapi hanya sampai “sejauh dia merangsang hati penulisnya”.
Apakah sebenarnya esai? Pada suatu esai, yang utama bukanlah pokok persoalannya, tetapi cara pengarang mengemukakan persoalannya. Dengan lain perkataan, apa yang utama pada sebuah esai ialah bayangan kepribadian dari pengarang – yang simpatik dan menarik. Hal ini oleh Arthur Christopher Benson dikemukakan dalam esainya yang berjudul The Art of the Essayist. Dikatakannya, dalam menulis sebuah esai, tak perlu ada motivasi-motivasi filosofis atau intelektual atau religius atau humoristik. Seorang esais menulis sesuai dengan apa yang hidup dalam dirinya – perasaan dan pikirannya.
Maka seorang esais adalah orang yang terpikat. Orang yang jatuh cinta pada sebuah persoalan/gelaja. Percintaan itu adalah percintaan yang bersifat pribadi manusia. Menulis esai seakan-akan adalah bercerita kepada dan untuk diri sendiri – seakan-akan merenungkan keindahan percintaannya. Esai adalah tulisan yang bersifat pribadi sekali.
Dalam puisi, seorang mengalami secara intens suatu pengalaman. Dia seakan-akan luluh dalam pengalaman tersebut. Dan pengalaman itu dilukiskan secara intens pula dalam penuangannya menjadi karya seni. Pengalaman tersebut secara jenuh/dijenuhkan menjelma menjadi karya seni. Maka di sini ada aspek pathos dalam penghayatan puisi – penghayatan yang dialami secara intens.
Kalau di sini disebut puisi, maka ini tidak berarti sebagai lawan dari prosa, sanjak-sanjak. Yang dimaksud dengan puisi ialah seperti kata Jacques Maritain, “pertemuan antara dunia dalam individu dengan dunia dalam dari alam”. Jadi suatu penghayatan personal terhadap alam. Puisi di sini adalah menurut pengertian Coleridge ketika dia berkata, “Lawan dari puisi bukanlah prosa,tapi adalah ilmu; lawan dari prosa bukan puisi, tapi sanjak.” Itulah pengertian puisi di sini.
Inti dari karya seni adalah penghayatan puisinya, tampak terutama dalam kesenian non-verbal: musik, seni lukis, tari dan sebagainya. Dalam kesusastraan, karya seni bergerak dalam skala antara pengalaman puisi dan sikap ilmiah. Kritik misalnya, terletak dalam skala yang lebih pada dekat kutub ilmiah. Kutub yang paling ekstrem dalam skala ini pada kutub ilmiahnya menjelma dalam tulisan-tulisan ilmiah yang teknis, di mana obyektivitas dan abstraksinya mencapai titik maksimalnya. Reaksi para pembaca pun (dicoba) distandardisasikan. Artinya, diusahakan supaya seragam. Unsur-unsur subyektif dari penulisnya tidak/hampir-tidak berperan sama sekali. Ini tampak misalnya pada simbol-simbol matematika.
Di mana letaknya esai? Esai mempersoalkan persoalan – maka dia seakan-akan ditarik ke arah kutub yang ilmiah dari skala tersebut. Tetapi esai mempersoalkan persoalan “sejauh dia merangsang hati penulisnya”. Di sini ditarik kembali ke kutub puisi.
Seorang esais adalah orang yang menghubungi dunianya secara realistis. Dia terpesona oleh kemenarikan dan sifat dari benda-benda, dia pun jatuh cinta. Dalam ilmu tidak ada jatuh cinta, yang perlu adalah obyektivitas. Tetapi cintanya tersebut tidak disubyektifkan, tidak diromantiskan atau dibuat menjadi pengalaman yang pathos; seorang esais mencoba melukiskan cintanya atau keterpesonaannya itu dalam pelukisan yang jernih, ramah dan simpatik. Dia – dalam esai-esainya – kadang-kadang melukiskan persoalan secara analitis, kadang-kadang menginterpretasikannya, kadang-kadang secara deskriptif dan kadang-kadang secara emosional. Semua ini “sampai sejauh dia merangsang penulisnya”. Seorang esais jadinya adalah seorang yang sedang merekam kehidupan – merekam kehidupan yang hidup dalam dirinya.
Kalau puisi adalah idealis, ilmu adalah obyektif – maka esai adalah realis. Dia melukiskan gejala yang hidup, karena itu dia menangkap kehidupan yang sebenarnya, yang menggejala dalam diri seorang manusia riil sebagaimana adanya.
Dari uraian di atas tampak seolah-olah esai hanya bersifat “main-main” – suatu improvisasi dari warna-warna kehidupan. Seakan-akan tidak ada ide dalam sebuah esai. Seperti kata A.C. Benson, “Seseorang tak boleh mengharapkan dari seorang esais keterangan-keterangan yang diinginkan atau minta suatu pemecahan yang jelas tentang suatu persoalan yang kompleks.” Makinlah terasa seakan-akan esai tak ada “isi”-nya.
Ini adalah tanggapan yang salah. Esai memang tidak memecahkan persoalan seperti halnya ilmu memecahkan persoalan – artinya, memberi petunjuk-petunjuk atau solutions atau jalan keluar bagaimana suatu hal harus dihadapi/diatasi. Esai tidak memecahkan persoalan. Dia melukiskan persoalan. Lebih tepat lagi: dia melukiskan kehidupan sebagai gejala kehidupan manusia dalam aspek intelektualnya maupun aspek emosionalnya, yang semuanya itu menjelma menjadi Gestalt/keutuhan kepribadian yang simpatik.
Kata “persoalan” sebenarnya tidak tepat, karena kata tersebut menyatakan secara implisit suatu sikap a priori untuk memecahkannya, hingga bila “persoalan” tersebut tidak dipecahkan, maka esai yang menyajikan “persoalan” tersebut jadi bersifat kerja yang setengah-setengah, belum selesai. Esai tidak melukiskan persoalan. Dia menjelmakan kehidupan.
Seorang esais melukiskan gejala kehidupan tanpa sikap a priori atau pretensi apa-apa – dia hanya jatuh cinta dan menikmati cintanya secara ramah. Sebab itu sebuah esai adalah sebuah karya pribadi, yang seakan-akan dituliskan kepada dan untuk dirinya sendiri. Tetapi, seperti juga karya-karya seni lainnya, yang merupakan ekspresi nilai, maka bila dia telah diciptakan menjadi sebuah realitas yang nyata yang memungkinkan komunikasi dan partisipasi individu lain, maka sebuah esai meskipun adalah suatu dialog pribadi antara esais dan dunianya – dia memberikan nilai-nilai keindahan dan kemesraan bagi individu-individu lain yang ikut serta dalam dialog tersebut.
Esai menyentuh realitas yang sebenarnya. Di sinilah letak kekayaan sebuah esai. Dia menyentuh realitas yang hidup dalam diri seorang secara riil. Kalau pada ilmu penekanan diarahkan kepada dunia obyektip, pada puisi penekanan diarahkan kepada nilai yang ditemui manusia dalam dunia/kehidupannya – maka esai menekankan manusia dengan dunianya dalam hubungan keterjalinannya yang nyata, yang menggejala.
Di sini kita temui persamaan ilmu dan puisi. Keduanya berusaha mentransendenkan kenyataan yang menggejala. Yang satu ke arah obyektivitas, yang lain ke arah subyektivitas. Esai berusaha tetap tinggal dalam dunia, dunia sebagaimana dia menggejala. Ilmu dan seni berusaha mencapai kemutlakan filosofis, yang satu ke arah positivis, yang lain ke arah idealis. Esai menuju ke kenyataan psikologis – lebih tepatnya lagi, menuju ke kenyataan fenomenologis.
Bersama puisi orang-orang diajak menuju pada kehidupan nilai-nilai subyektif. Bersama ilmu orang diajak kepada hidup yang praktis. Bersama esai orang diajak kepada kehidupan yang menggejala secara sederhana dalam diri seorang manusia nyata.
Itulah esai. Dalam menilainya kita harus menempatkannya pada proporsi yang sebenarnya sesuai dengan kodratnya. Dinilai dengan norma-norma puisi, dia adalah puisi yang tanggung – puisi yang kurang dihayati secara intens/pathos. Dinilai dengan norma-norma ilmu, dia adalah ilmu yang setengah-setengah, suatu studi pendahuluan yang masih kabur perumusan konsep-konsepnya; masih bercampur-baur dengan perasaan-perasaan subyektif dari penulisnya yang dibiarkan hidup dan terus terasa mengganggu bagi seorang sarjana.
Tapi ini tidak berarti bahwa esai anti-ilmu dan anti-puisi. Yang mau dinyatakan ialah bahwa yang khas pada sebuah esai ialah kelonggarannya, dan ketidak-ekstrem-subyektifannya. Esai seakan-akan melompat-lompat dari subyek ke obyek dan dari obyek ke subyek. Bahwa dia tidak ekstrem ilmiah ini bukan berarti bahwa kebenaran tersebut tidak dituliskan secara terang-jelas dengan bukti-bukti eksperimental dan analisa-analisa yang ekstrem rasional.
Kadang-kadang suatu kebenaran dihayati begitu intens tanpa kita bisa membuktikannya secara ilmiah. Maka orang ini akan menulis sebuah esai untuk hal tersebut. Esai tidak membuktikan secara eksperimental-rasional, tetapi meyakinkan secara simpatik tentang suatu kebenaran. Dia memakai aspek-aspek rasio dan emosi, tetapi aspek tersebut dipakainya secara demokratis, secara simpatik. Pada puisi atau pada ilmu terdapat pretensi, yang kuat, untuk memaksa orang lain mengakui apa yang ingin dikatakannya. Inilah yang khas pada esai: dia bersifat demokratis dan simpatik. Dia adalah sebuah karya pribadi yang telah puas dalam dan dengan dirinya sendiri.
Esai harus dinilai dengan norma-norma esai, barulah dia akan tampil dengan segala kesegaran perhiasan-perhiasan dirinya, bagai bunga yang bangga ketika mekar pagi hari. Tulisan ini tidak bermaksud untuk memberikan definisi yang tegas tentang apakah sebenarnya sebuah esai. Tulisan ini hanya berusaha menunjukkan nilai-nilai dari esai yang ramah.
Tulisan ini hanyalah sekedar sebuah esai, yang bermaksud untuk menarik simpati pembacanya kepada sebuah esai.
Oleh : Prof. Arief Budiman PhD/Soe Hok Djin
Sumber tulisan, buku “Kebebasan, Negara, Pembangunan” karya Arief Budiman Hal. 233 – 236. Tulisan ini pertama kali dipublikasikan oleh Majalah Horison, Juli 1966.