Diplomasi Desa dan Konstitusionalitas dari Bonelemo


Ilustrasi Penutupan Akses Jalan oleh Warga Desa Bonelemo terhadap lalu lintas kendaraan berat PT. Masmindo Dwi Area (Aletheia.id)

Editorial, Aletheia.id – Desa Bonelemo di Kecamatan Bajo Barat, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, telah menjadi contoh yang relevan tentang bagaimana kekuasaan lokal bisa digunakan secara konstitusional untuk melindungi kepentingan rakyat di tengah arus besar kepentingan korporasi dan negara. Dalam konteks ketegangan antara masyarakat dan perusahaan tambang PT Masmindo Dwi Area anak perusahaan PT Indika Energy Tbk yang mengelola tambang emas di Blok Awak Mas, Kecamatan Latimojong, Kepala Desa Bonelemo, Baso, SH, menunjukkan bahwa kepemimpinan desa dapat melampaui peran administratif semata dan mengambil posisi sebagai aktor politik hukum.

Tambang emas yang dikelola Masmindo di tanah Luwu merupakan salah satu proyek pertambangan emas terbesar di Sulawesi Selatan, menggunakan metode tambang terbuka (open pit) dan kini telah memasuki tahap konstruksi serta melakukan peledakan (blasting) untuk membuka akses batuan. Kehadiran aktivitas tersebut tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi mobilisasi kendaraan beratnya juga mengganggu infrastruktur desa seperti jalan umum yang sehari-hari digunakan warga.

Baca juga: Kepala Desa Bonelemo Larang Mobilisasi Masmindo, Surati Bupati Luwu

Kerusakan jalan umum akibat aktivitas kendaraan berat milik perusahaan tersebut bukanlah hal baru. Namun yang membedakan adalah respons warga Bonelemo, yang telah melakukan penutupan jalan sebagai bentuk protes kolektif. Dalam kondisi yang rentan terhadap konflik horizontal maupun vertikal ini, Baso memilih jalur formal dengan mengirimkan surat resmi bernomor 240/DS-B/KBB/VII/2025 kepada Bupati Luwu, yang berisi larangan terhadap aktivitas mobilisasi perusahaan tambang di wilayah desanya.

Dalam situasi yang berpotensi memicu eskalasi sosial, Baso merespons dengan pendekatan berbasis regulasi, bukan sekadar pernyataan politis. Ia menunjukkan bahwa kekuasaan desa memiliki instrumen hukum yang dapat digunakan untuk menjaga martabat dan hak-hak warga desa.

Langkah tersebut bukanlah bentuk penolakan terhadap pembangunan, melainkan bentuk penegasan batas etis dan legal atas investasi. Dalam surat tersebut, Baso mengartikulasikan tanggung jawabnya sebagai kepala desa, termasuk kekhawatiran bahwa tindakan penutupan jalan oleh warga bisa menimbulkan konsekuensi hukum. Oleh karena itu, ia mengambil alih tanggung jawab dengan pendekatan administratif yang sah.

Baca juga: Jalan Poros Rusak Dihantam Kendaraan Tambang Masmindo, Warga Luwu Tutup Akses Jalan

Tindakan ini menandai adanya kontrak sosial yang sehat antara pemimpin desa dan warganya. Baso tidak sekadar merepresentasikan warga dalam arti prosedural, tetapi bertindak sebagai penjaga aspirasi kolektif, sekaligus pelindung mereka dari potensi kriminalisasi.

Negosiasi yang dilakukan oleh pemerintah desa Bonelemo menunjukkan bahwa posisi tawar desa terhadap korporasi tidak selamanya lemah. Selama instrumen hukum dikuasai dan konstitusionalitas dijaga, desa dapat menyampaikan keberatannya tanpa perlu menempuh jalur anarkis atau simbolik semata. Justru inilah bentuk kedewasaan demokrasi lokal yang sering terpinggirkan dalam diskursus pembangunan nasional.

Apa yang dilakukan Baso dan warga Bonelemo hendaknya dipandang sebagai preseden positif. Negara tidak bisa terus-menerus berpihak pada efisiensi ekonomi tanpa menghitung biaya sosial yang ditanggung oleh warga terdampak tambang. Investasi harus bersifat berkeadilan, tidak sekadar berdasarkan nilai kontrak atau besar produksi, tetapi juga sejauh mana ia menghormati ruang hidup masyarakat lokal.

Negosiasi dari desa, seperti yang ditunjukkan oleh Bonelemo, bukan bentuk kelemahan. Ia adalah kekuatan moral dan legal yang menunjukkan bahwa demokrasi tidak berhenti di bilik suara, melainkan hidup dalam tindakan sehari-hari, terutama ketika warga dan pemimpinnya berani menyuarakan keadilan melalui jalur konstitusional. Suatu hal yang harusnya juga dilakukan oleh DPRD Luwu dan Pemerintah Daerah Luwu.

Baca juga: Tambang Emas di Latimojong, Akademisi Luwu Raya Afrianto Desak Pemda Luwu Lakukan Politik Valuasi

Dalam praktiknya, tindakan Kepala Desa Bonelemo bukan hanya bentuk tanggung jawab sosial, tapi juga ekspresi dari doktrin desentralisasi yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang-undang tersebut tidak hanya memberikan kewenangan administratif kepada desa, tetapi juga ruang untuk melaksanakan fungsi pemerintahan, pembangunan, pembinaan, dan pemberdayaan masyarakat secara otonom. Dengan menggunakan jalur resmi. Melalui surat kepada bupati dan pembatasan administratif terhadap aktivitas tambang, pemerintah desa sedang menjalankan mandat konstitusional itu secara substantif, bukan simbolik.

Ini merupakan bentuk grassroots diplomacy, diplomasi dari bawah yang mengutamakan dialog dan posisi etis tanpa kehilangan legalitasnya. Di tengah kultur birokrasi yang kerap abai terhadap jeritan masyarakat pinggiran, langkah seperti ini perlu diapresiasi dan dicontoh, bukan direduksi atau bahkan dimusuhi.

Kepala desa bukanlah sekadar perpanjangan tangan kabupaten atau pusat, melainkan pemimpin politik lokal dengan legitimasi langsung dari rakyat. Ketika posisi ini digunakan untuk memperjuangkan hak dasar warganya atas ruang hidup yang layak, maka yang dilakukan adalah esensi dari konstitusionalisme itu sendiri: kekuasaan dijalankan untuk melindungi dan menyejahterakan rakyat.

Pemerintah kabupaten dan provinsi semestinya melihat surat dari Desa Bonelemo bukan sebagai hambatan, tapi sebagai wake-up call untuk membangun ulang relasi antara negara, masyarakat, dan korporasi dalam kerangka yang lebih adil dan transparan. Termasuk membuka kembali dokumen-dokumen publik seperti AMDAL yang selama ini kerap tertutup bagi warga terdampak.

Baca juga: Baso S.H Dorong Pemkab Luwu Negosiasi Ulang Kepemilikan Saham Tambang di Luwu

Sudah saatnya model pembangunan nasional yang sentralistik dan bertumpu pada ekstraksi sumber daya alam secara masif ditinjau ulang. Kasus Bonelemo memperlihatkan bahwa pembangunan yang tidak menghitung daya dukung sosial dan ekologis hanya akan menciptakan ketegangan berkepanjangan.

Di tengah semakin terbatasnya ruang hidup akibat ekspansi industri ekstraktif, suara-suara dari desa seperti Bonelemo menjadi penting untuk didengar. Mereka bukan anti-investasi, bukan juga anti-pembangunan. Mereka hanya ingin memastikan bahwa dalam setiap proses pembangunan, ada ruang yang cukup bagi martabat dan keselamatan rakyat untuk tetap berdiri tegak.

Bonelemo mengingatkan kita bahwa kekuasaan desa bukanlah kekuasaan kecil, ia adalah tapak awal demokrasi yang sejati. Pada akhirnya, diplomasi desa yang dilakukan kepala Desa Bonelemo, Baso S.H perlu disambut baik sebagai pilar baru dalam tata kelola demokrasi dan pembangunan yang berkeadilan.