EDITORIAL, Aletheia.id– Di tengah hujan yang mendominasi cuaca Kutai Timur belakangan ini, sekotak kecil Tolak Angin mendadak menjadi simbol perlawanan politik yang kuat. Faisal Rachman, politisi PDI Perjuangan yang juga Ketua Fraksi Gelora Amanat Perjuangan (GAP), menyiapkan hadiah istimewa berupa dua kotak “Tolak Angin” untuk Ketua DPRD Kutai Timur, Jimmi.
Di balik pemberian yang tampak sederhana ini, tersimpan kritik tajam terhadap gaya kepemimpinan yang dinilai semakin otokratis, Rabu 16 April 2025
Dari Jamu Menjadi Simbol Perlawanan
“Tolak Angin” yang biasanya dikenal sebagai obat herbal untuk mengatasi masuk angin, kini mengalami transformasi makna di panggung politik lokal. Faisal menjelaskan bahwa pemberian Tolak Angin dimaksudkan “agar di kondisi cuaca yang didominasi hujan saat ini, Ketua DPRD dapat tetap menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik.” Namun, di balik ungkapan perhatian tersebut, tersirat sindiran halus tentang kondisi “tidak sehat” dalam pengambilan keputusan di DPRD Kutai Timur.
Simbolisme “Tolak Angin” ini menjadi metafora menarik: sebagaimana obat herbal digunakan untuk mengeluarkan “angin” yang mengganggu sistem tubuh, kritik Faisal dimaksudkan untuk mengeluarkan praktik-praktik yang “mengganggu” sistem demokrasi di lembaga legislatif daerah.
Akar Permasalahan: Perubahan Struktur Panja Secara Sepihak
Kontroversi bermula ketika terjadi perubahan struktur Panitia Kerja (Panja) DPRD Kutim yang menangani sengketa lahan antara Kelompok Tani Nila Lestari dengan PT Equalindo Makmur Alam Sejahtera (PT EMAS). Perubahan ini terjadi tanpa konfirmasi atau musyawarah dengan anggota Panja lainnya, termasuk Faisal yang menjabat sebagai Sekretaris Panja.
“Sampai sekarang saya tidak tahu siapa penggantinya. Katanya dirubah dan Pak Ali menyatakan mundur ketika sudah diganti. Itu tanpa konfirmasi. Padahal SK-nya sudah ditandatangani di awal dengan Pak Ali sebagai ketua,” kata Faisal.
Kronologi perubahan struktur Panja menunjukkan pola yang tidak lazim:
- Awalnya, Panja dipimpin oleh Ketua Komisi B Muhammad Ali yang telah menangani kasus ini sejak awal.
- Tiba-tiba kepemimpinan dialihkan kepada H. Bahcok Riandi, Wakil Ketua Komisi C.
- Perubahan terjadi kurang dari 24 jam dan tanpa konfirmasi kepada masyarakat atau anggota Panja lainnya.
- Ironisnya, perubahan mendadak ini terjadi tepat dua hari sebelum Panja berencana turun ke lapangan untuk meninjau lokasi sengketa.
Kolektif Kolegial vs “Super Power”
Kritik paling mendasar yang disampaikan Faisal adalah tentang prinsip kepemimpinan kolektif kolegial yang seharusnya menjadi ruh dari lembaga legislatif. DPRD terdiri dari 40 anggota dan 7 fraksi yang semua suaranya harus didengar dan dihargai.
“Jangan ketua itu merasa super power bahwa dia yang punya DPR. Saya bilang itu yang tidak cocok. Ini bukan punya satu orang. Hargai teman-teman yang lain juga,” tegas Faisal.
Menurut Faisal, pengambilan keputusan sepihak oleh pimpinan DPRD merupakan anomali dalam sejarah DPRD Kutai Timur. Bahkan saat pandemi COVID-19 tahun 2020, ketika DPRD dipimpin oleh koalisi besar yang menguasai 14 kursi, keputusan tetap diambil melalui musyawarah.
“Pada saat mau mengambil keputusan di masa krisis, mereka tetap melakukan komunikasi dengan kami. Tetap dilakukan musyawarah,” kenangnya.
Dampak pada Kepercayaan Publik
Perubahan struktur Panja secara sepihak telah menimbulkan dampak serius pada kepercayaan publik terhadap DPRD. Masyarakat yang seharusnya difasilitasi justru menyampaikan surat penolakan terhadap kehadiran Panja dengan ketua baru karena meragukan netralitas dan objektivitasnya.
Solihin, ketua kelompok tani yang mewakili warga RT 11, 12, dan 13 Dusun 3 Seberangsari, mengklarifikasi bahwa mereka tidak menolak pembentukan Panja, melainkan meminta revisi komposisi keanggotaan Panja tersebut. Keberatan lain yang disampaikan adalah adanya potensi konflik kepentingan, karena ketua Panja yang baru diduga memiliki hubungan keluarga dengan salah satu karyawan PT EMAS.
“Dalam belum 1 kali 24 jam itu berubah tanpa konfirmasi ke masyarakat. Jadi kita jadi bertanya-tanya ada apa? Kami sebagai masyarakat, melihat ini tidak adil karena ranah beliau (H.Bahcok) juga bukan di situ,” ungkap Irda, salah satu anggota kelompok tani.
Versi Berbeda dari Ketua DPRD
Menanggapi kritik tersebut, Ketua DPRD Kutai Timur, Jimmi, memberikan klarifikasi berbeda. Ia membantah telah terjadi pergantian ketua Panja tanpa koordinasi dan menegaskan bahwa pembentukan Panja masih dalam proses koordinasi dengan ketua komisi terkait.
“Untuk Panja Telen yang menangani sengketa lahan, hingga saat ini belum ada nama yang direkomendasikan dari ketua komisi. Belum ada pergantian karena ketua belum memutuskan siapa orang-orangnya. Kami masih menunggu dari ketua komisi,” tegasnya.
Jimmi juga mengklarifikasi tentang kunjungan ke PT EMAS, bahwa itu merupakan kunjungan komisi, bukan kunjungan Panja. “Itu tugasnya komisi. Terserah komisi siapa orangnya yang bertugas ke sana, karena mencari informasi tidak harus melalui Panja. Komisi saja cukup,” jelasnya.
Implikasi bagi Demokrasi Lokal
Faisal mengkhawatirkan bahwa praktik pengambilan keputusan sepihak ini, jika dibiarkan, akan mencederai sistem demokrasi di tingkat lokal. “Kalau terus dibudayakan, sistem pengambilan keputusan di DPR ini tidak sehat untuk demokrasi kita,” tegasnya.
Ia menekankan pentingnya transparansi dan keterbukaan dalam pengambilan keputusan. “Jadi ketika ada hal seperti ini, kita harus lawan. Kita harus sampaikan. Jangan kita diam-diam karena akan disangka kita semua sepakat.”
“Tolak Angin” Sebagai Alarm Demokrasi
Hadiah dua kotak kecil “Tolak Angin” yang disiapkan Faisal bukan sekadar simbol perhatian, tetapi juga alarm untuk mengingatkan bahwa kesehatan demokrasi di lembaga legislatif perlu dijaga. Sebagaimana Tolak Angin berfungsi meredakan gangguan kesehatan, kritik konstruktif diharapkan dapat meredakan gangguan dalam sistem pengambilan keputusan di DPRD.
“Ini keputusan pertama yang saya lihat agak mencederai. Ini menjadi pelajaran mungkin, supaya hargailah teman-teman yang lain di DPR,” tutur Faisal.
Di tengah polemik ini, masyarakat, khususnya Kelompok Tani, berharap Ketua DPRD dapat menempatkan permasalahan ini pada komisi yang memang menguasai kasus mereka sejak awal, yaitu Komisi B. Mereka juga telah menerima informasi dari anggota DPRD Kutim yang menyatakan bahwa akan ada penyusunan ulang Panja sesuai dengan keinginan masyarakat.
Sekotak “Tolak Angin” mungkin tampak sepele, namun simbolisme di baliknya mengingatkan bahwa kesehatan demokrasi memerlukan keterbukaan, musyawarah, dan penghargaan terhadap suara semua pihak. Dalam konteks politik lokal Kutai Timur, “Tolak Angin” telah bermetamorfosis dari sekadar jamu pereda masuk angin menjadi simbol perlawanan terhadap praktik politik yang tidak sehat.