Di Mana Rakyat dalam Pembangunan


Editorial, Aletheia.id – Pembangunan seharusnya menjadi denyut nadi yang mengalirkan kehidupan ke seluruh penjuru wilayah—bukan sekadar derap langkah ekskavator yang menggilas semangat rakyat kecil. Namun dalam kenyataannya, pembangunan sering hadir seperti hujan di atas atap: terdengar deras, tapi tak membasahi lantai tempat rakyat berdiri. Ia tinggi, megah, dan gemerlap, tetapi asing bagi kebutuhan riil masyarakat yang lapar, sakit, dan terpinggirkan.

Dalam bukunya Development as Freedom, Amartya Sen menekankan bahwa pembangunan sejati bukan hanya pertumbuhan ekonomi, melainkan proses memperluas kebebasan substantif rakyat—akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan kesempatan hidup yang bermartabat. Maka pertanyaannya: pembangunan siapa, untuk siapa?

Ketika pembangunan hanya menjadi alat politik atau proyek perburuan keuntungan, maka yang tumbuh bukanlah kesejahteraan, melainkan ketimpangan. Ivan Illich, seorang pemikir kritis, dalam Tools for Conviviality mengingatkan kita akan bahaya pembangunan yang terlepas dari konteks sosial: “Setiap lembaga yang terlalu terstruktur justru akan melumpuhkan kreativitas dan kemandirian manusia.” Di sinilah letak ironi pembangunan top-down yang dipaksakan tanpa mendengar suara akar rumput.

Pembangunan yang sejati harus berakar pada kebutuhan rakyat—apa yang disebut bottom-up development. Ini bukan sekadar jargon partisipasi, melainkan sebuah praksis yang melibatkan rakyat dalam proses diagnosis, perencanaan, hingga pengawasan. Seperti dalam filosofi gotong royong yang menjadi warisan sosial Indonesia, pembangunan semestinya dilahirkan dari kebersamaan, bukan sekadar keputusan elitis dalam ruang ber-AC.

Ketika seorang petani menjerit karena saluran irigasi rusak, ketika jalan rakyat terus mengalami keruskan karena lalu lintas alat berat pertambangan, dan ketika ibu-ibu desa datang di puskesmas dengan peralatan terbatas—itulah tanda-tanda bahwa keberpihakan dan pembangunan belum menyentuh urat nadi rakyat. Maka, proyek-proyek bernilai ratusan juta hingga milyaran rupiah akan menjadi monumen kesia-siaan jika rakyat tetap berkutat dengan kebutuhan paling dasar.

Pembangunan berbasis kebutuhan rakyat adalah pembangunan yang rendah hati. Ia tidak dibangun di atas ego kekuasaan, tetapi pada kesadaran bahwa rakyat bukan sekadar angka statistik, melainkan manusia yang punya harapan, luka, dan suara. Seperti dikatakan Pramoedya Ananta Toer, “Seorang terpelajar harus sudah berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” Maka, kebijakan pun harus demikian: adil sejak dalam niat, hingga dalam wujud nyata di lapangan.

Kita memerlukan paradigma pembangunan yang humanistik—yang melihat pembangunan bukan sebagai deretan proyek, tetapi sebagai pengabdian pada kehidupan. Sebab kemajuan sejati bukan diukur dari banyaknya bangunan gedung, tetapi dari apakah seorang ibu di desa dapat melahirkan anaknya dengan selamat dan bermartabat.

Pada akhirnya, makna kemajuan pembangunan terletak pada satu hal paling mendasar, apakah kehidupan menjadi lebih manusiawi.