EDITORIAL, Aletheia.id – Penambahan daerah pemilihan (Dapil) di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, dari empat menjadi delapan seharusnya menjadi momentum memperkuat keterwakilan rakyat. Tapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa dapil yang lebih banyak tidak serta-merta menghadirkan suara rakyat yang lebih kuat. Justru yang makin lebar adalah jarak antara rakyat dan wakilnya.
Alasan normatif penambahan dapil, kita sudah mahfum: meningkatkan kualitas demokrasi, memperkuat representasi, dan mendekatkan hubungan antara konstituen dan anggota dewan. Namun semua itu kini terdengar sebagai jargon kosong. Di ruang sidang, suara masyarakat nyaris tak bergema. Di lapangan, masalah-masalah mendasar tetap tak tersentuh.
Kerusakan lingkungan di Pegunungan Latimojong dan pencemaran Daerah Aliran Sungai Suso adalah contoh yang telanjang. Sungai yang dulunya jernih kini keruh. Habitat fauna endemik terancam hilang, jalan rusak di mana-mana. Tapi tak satu pun wakil rakyat bersuara lantang, apalagi menggugat pemerintah atau perusahaan tambang emas Masmindo Dwi Area. Mereka hadir saat pemilu, lalu lenyap bersama waktu.
Inilah wajah keterwakilan hari ini: formal di atas kertas, fiktif dalam kenyataan.
Penambahan dapil nyatanya lebih banyak dimaknai sebagai peluang memperluas basis elektoral, bukan memperluas jangkauan pengabdian. Politik dijalankan seperti strategi pemasaran: siapa yang bisa menjangkau suara terbanyak, bukan siapa yang bisa mewakili kepentingan terbanyak. Hasilnya: keterpilihan tanpa keberpihakan.
Partai politik juga turut andil. Mereka lebih sibuk mengatur kuota dan petahana, ketimbang menyiapkan kader yang peka dan peduli. DPRD berubah menjadi perpanjangan tangan partai, bukan perpanjangan lidah rakyat.
Sudah waktunya kita berhenti memuja angka. Demokrasi tidak cukup diukur dari berapa banyak dapil atau kursi yang tersedia. Tanpa kesadaran representasi yang sejati, semua itu hanya ornamen. Demokrasi berubah menjadi dekorasi yang indah tapi rapuh.
Masyarakat Luwu tak butuh wakil yang hanya punya keberanian di panggung kampanye. Mereka butuh keberanian di ruang sidang. Mereka butuh ketegasan untuk membela alam, air, dan tanah yang jadi sumber hidup.
Tanpa itu, keterwakilan hanyalah ilusi lima tahunan. Dan demokrasi, hanya jadi pesta yang dirayakan tanpa arti.