Luwu Timur dan Martabat di Ujung Usia


Bupati Luwu Timur, H. Irwan Bachri Syam, menyerahkan secara simbolis Kartu Lansia kepada warga penerima manfaat di Halaman Kantor Bupati Luwu Timur. Sumber: Dok. Humas Pemkab Lutim

Editorial, Aletheia.id – Tidak banyak daerah mengambil langkah berani dalam melindungi warganya yang telah menua. Di tengah arus pembangunan yang kerap memuja infrastruktur dan digitalisasi, Pemerintah Kabupaten Luwu Timur menempuh jalan yang lebih senyap, tapi jauh lebih bermakna: mengembalikan martabat orang tua lewat Program Kartu Lansia dengan bantuan Rp1 juta per bulan.

Langkah ini sederhana, tapi sarat makna. Ia bukan sekadar bantuan sosial semata, melainkan pernyataan moral bahwa negara—dalam bentuk pemerintah daerah—masih punya ruang nurani bagi mereka yang pernah menanam, bekerja, dan menjaga kehidupan sosial kita di masa lalu. Dalam konteks otonomi daerah, Luwu Timur menunjukkan bahwa keadilan sosial tidak selalu menunggu keputusan pusat. Ia bisa lahir dari daerah yang memahami detak hidup rakyatnya sendiri.

Program ini akan menjangkau 3.000 penerima dalam tahap awal, dimulai dari Kecamatan Malili dan akan meluas ke wilayah lain. Pemerintah daerah Luwu Timur juga membuka ruang evaluasi hingga akhir tahun, sebagai bagian dari persiapan pelaksanaan penuh mulai Januari 2026. Pengakuan bahwa masih ada lansia yang belum terdata menunjukkan sikap jujur dan kesadaran akan perbaikan berkelanjutan.

Baca juga: Pemkab Luwu Timur Salurkan Bantuan Rp1 Juta per Bulan Lewat Program Kartu Lansia

Lebih dari itu, kebijakan ini menyimpan dampak ekonomi yang penting. Uang Rp1 juta yang diterima para lansia akan berputar di warung-warung, dan usaha kecil di pelosok Luwu Timur. Daya beli lokal akan tumbuh, dan sektor UMKM ikut bergerak. Dalam konteks ekonomi perdesaan, kebijakan sosial seperti ini adalah stimulus ekonomi yang berkeadilan—memperkuat sirkulasi uang di bawah dan menjaga denyut ekonomi rakyat kecil tetap hidup.

Jika menoleh ke daerah lain, program sejenis baru dikenal luas di DKI Jakarta lewat Kartu Lansia Jakarta (KLJ), dengan bantuan sekitar Rp300–600 ribu per bulan. Artinya, Luwu Timur melangkah lebih jauh, bukan hanya dalam nilai bantuan, tetapi juga dalam keberanian moral dan politik untuk menempatkan lansia sebagai subjek pembangunan. Daerah kecil bisa menjadi pelopor kebijakan besar.

Jika dijalankan dengan konsisten, Kartu Lansia dapat menjadi fondasi sistem kesejahteraan baru di daerah—yang tak hanya memberi bantuan tunai, tetapi juga membuka akses layanan kesehatan, dukungan keluarga, dan pendampingan sosial. Inilah wajah baru pembangunan manusia yang sejati: pembangunan yang bertolak dari kepedulian.

Lansia bukan sekadar statistik dalam daftar penerima bantuan. Mereka adalah cermin masa depan kita sendiri. Bila Luwu Timur memilih untuk memuliakan mereka, maka daerah ini sesungguhnya sedang menunjukkan bahwa kemajuan sejati bukan diukur dari kecepatan membangun semata, melainkan dari kelembutan hati dalam melindungi.