PT. PUL Bahas Tumpang Tindih IUP dengan Hutan Adat Cerekang, Warga Minta Komitmen Tertulis


Luwu Timur, Aletheia.id — PT. Prima Utama Lestari (PT. PUL) menggelar pertemuan pada Jumat (13/6/2025) di Site Office perusahaan untuk membahas persoalan tumpang tindih antara kawasan Hutan Adat Cerekang dan wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT. PUL. Pertemuan ini dihadiri oleh manajemen PT. PUL, perwakilan masyarakat adat To Cerekang, serta Direktur Perkumpulan Wallacea.

Dalam forum tersebut, perwakilan masyarakat adat menyampaikan penolakan tegas terhadap aktivitas pertambangan di kawasan hutan adat mereka. Kepala Dusun Cerekang, Risal, menuturkan bahwa masyarakat telah melakukan musyawarah kampung pada Januari 2025 dan menyepakati penolakan terhadap keberadaan IUP PT. PUL di wilayah Hutan Adat Cerekang.

“Sikap ini telah kami sampaikan secara resmi kepada Bupati Luwu Timur. Harapan kami, pertemuan hari ini menghasilkan kesepakatan tertulis bahwa PT. PUL tidak akan melakukan kegiatan di dalam Hutan Adat Cerekang,” kata Risal.

Wilayah Sakral yang Dilindungi Komunitas

Hutan Adat To Cerekang memiliki nilai kultural dan spiritual yang tinggi bagi masyarakat. Wilayah seluas 24 hektare yang tumpang tindih dengan IUP PT. PUL diperlakukan sebagai kawasan yang tidak boleh diolah, bahkan oleh masyarakat sendiri.

“Tidak ada aktivitas apapun di kawasan itu. Tidak boleh mengambil kayu, tidak boleh menebang pohon, apalagi melakukan kegiatan industri. Ini bagian dari komitmen masyarakat menjaga warisan leluhur,” ujar Risal.

Direktur Perkumpulan Wallacea mendukung pernyataan tersebut. Ia menegaskan pentingnya PT. PUL menunjukkan sikap konkret dalam bentuk dokumen resmi. “Jika memang tidak ada niat menambang di sana, maka komitmen tertulis perlu diberikan,” katanya.

Sementara itu, Pihak PT. PUL melalui Adez Kristan, Legal Officer perusahaan, menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan kajian internal terhadap wilayah yang tumpang tindih dengan Hutan Adat. Hasilnya menunjukkan bahwa potensi sumber daya tidak sebanding dengan biaya operasional dan tantangan hukum yang mungkin dihadapi.

“Wilayah ini sangat sulit untuk dikelola secara ekonomis. Dan hingga tahun 2026, tidak ada rencana dari perusahaan untuk melakukan penambangan di sana,” kata Adez.

Ia juga menyampaikan bahwa berdasarkan zonasi, wilayah tumpang tindih tersebut masuk dalam kawasan Hutan Produksi, yang berarti untuk melakukan aktivitas pertambangan, PT. PUL harus mengajukan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Namun, izin tersebut sangat sulit diperoleh bila kawasan sudah ditetapkan sebagai Hutan Adat.

Masih Kaji Kemungkinan Pernyataan Resmi

Menanggapi permintaan masyarakat adat agar perusahaan membuat dokumen pernyataan resmi, PT. PUL menyatakan masih mendiskusikan kemungkinan tersebut dengan berbagai pihak, termasuk kementerian terkait, untuk mempertimbangkan aspek hukum dan administratif yang mungkin muncul.

“Isu ini akan kami jadikan agenda rutin dalam pertemuan dengan masyarakat adat Cerekang. Kami ingin memastikan komunikasi tetap terbuka dan masyarakat mendapat informasi yang jelas,” ujar Adez menutup. (*)