Luwu Utara, Aletheia.id – Pemerintah Kabupaten Luwu Utara menetapkan pengakuan resmi terhadap tiga komunitas adat di Kecamatan Seko, yakni Komunitas Adat Hono, Turong, dan Owi Bungku Singkalong. Pengakuan ini dituangkan dalam Surat Keputusan Bupati sebagai bagian dari implementasi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Langkah tersebut mendapat apresiasi dari Perkumpulan WALLACEA, organisasi masyarakat sipil yang selama ini aktif dalam isu-isu lingkungan dan advokasi Pengakuan Masyarakat Hukum Adat di wilayah Luwu Raya. “Ini adalah bentuk komitmen politik yang patut dicontoh. Pengakuan MHA adalah hak konstitusional, dan langkah ini menunjukkan pemerintah daerah tidak abai terhadap kewajiban tersebut,” ujar Direktur Perkumpulan WALLACEA, Hamsaluddin dalam pernyataan resminya, Sabtu, 14 Juni 2025.
Meski konstitusi mengatur pengakuan masyarakat adat melalui Pasal 18B Ayat 2 UUD 1945, namun proses di tingkat daerah kerap berjalan lambat. WALLACEA menyebut, lambannya pengakuan ini umumnya disebabkan oleh minimnya keseriusan pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan teknis seperti pembentukan Perda, panitia pengakuan, hingga pemetaan wilayah adat.
Di wilayah Luwu Raya, suda ada tiga kabupaten yang telah memiliki Perda pengakuan MHA: Kabupaten Luwu dengan Perda No. 7 Tahun 2018, Luwu Utara dengan Perda No. 2 Tahun 2020, dan Luwu Timur dengan Perda No. 1 Tahun 2022.
“Seringkali isu masyarakat adat hanya muncul saat masa kampanye. Setelah terpilih, janji itu dilupakan. Bahkan ada anggapan pengakuan adat akan menghambat investasi,” kata Hamsaluddin.
Padahal, menurutnya, masyarakat adat merupakan subjek hukum yang dinamis. Perubahan dalam praktik budaya atau kepercayaan tidak serta-merta menghapus keberadaan dan hak-hak mereka, selama pranata adat dan hukum adat masih dijalankan oleh komunitas bersangkutan.
WALLACEA juga menyebut pentingnya kolaborasi antara pemerintah daerah dan berbagai lembaga yang selama ini fokus pada advokasi hak masyarakat adat, seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Kolaborasi ini dinilai penting untuk mewujudkan prinsip pembangunan berkelanjutan yang inklusif, sejalan dengan agenda global Sustainable Development Goals (SDGs), terutama prinsip No One Left Behind.
“Pengakuan ini bukan akhir, tapi awal dari proses panjang perlindungan hak masyarakat adat. Pemerintah daerah harus terus melibatkan mereka dalam perencanaan pembangunan,” ujarnya.
(**)