Editorial: Demokrasi Cilaka


Segerombol manusia berwatak “cilaka” menguasai arena politik-sosial kita akhir-akhir ini. Ditengah riuh pemujaan Nawacita, kita nampaknya harus kembali menyekar ke jalan-jalan sunyi, bertemu pemuda yang bernama Soekarno. Menatap jauh, betapa hasrat berdemokrasi meminggirkan rakyat, lalu menjadikannya objek yang diperuntukkan bagi demokrasi. Kondisi itu membuat demokrasi cilaka.

Soekarno, menjadi manusia sunyi, dipuja, dielukan, dalam simbol. Cita Nawacita Soekarno tentang Indonesia telah di penjara, dipinjam lalu dipolitisasi atas nama kehendak menang. Siapa yang berani menyepuh gerakan soekarno, memintalnya menjadi benang perjuangan, menjadikannya payung gerakan mencapai keadaban berdemokrasi? Rasa-rasanya sulit menjawab itu.

Soekarno, memang sudah terbujur kaku. Terbaring, bersama waktu.  Orasi sosialnya tak lagi memekik, buku dan catatan-catatannya tentang Demokrasi Politik, Demokrasi Ekonomi, atau Sekali Lagi Tentang ‘Sosio-Demokrasi”, dan Mencapai Indonesia Merdeka, telah usang, lapuk diterpa angin dan masa rezim tiran-berubah wujud yang kian lama.

Tetapi, masih ada keyakinan. Jasad dan ruhnya nya, tetap menyatu dengan tanah ke-Indonesiaan. Pemikirannya, tetap bergolak dalam lapangan sosial, menyesaki ratusan mahasiswa, buruh, tani,  satu buat semua, semua dalam rumah persatuan, menjelama menjadi masyarakat nasionalisme-progresif. Karena itu, kita masih berharap adanya gelombang perlawanan terhadap RUU Cilaka, Cipta Lapangan Kerja.

Tuturnya. “Revolusi prancis. Pada akhirnya bukan untuk rakyat prancis”. Pada titik ekstrimnya justru untuk kelompok borjuasi, melahirkan kapitalisme, lalu menyebar, menjalar, menghisap kesegala ruang sosial, tanpa batas. Kapitalisme, bergerak lincah kemudian  dengan sempurna menaklukkan demokrasi (Capitalisme has invaded democaracy)

Kritik tajam, Soekarno. Terbitnya demokrasi kelas borjuasi yang nampak sekarang sebagai demokrasi cilaka, dituturnya penuh gegap gempita, ia memberikan contoh bagaimana prancis yang mempelopori revolusi demokratis di Eropa. Namun dalam perkembangannya, demokrasi yang didengungkan semasa revolusi itu pada akhirnya menguntungkan kaum borjuis, lalu menepikan rakyat ditempat-tempat yang terasing, pada saat itu tutur soekarno demokrasi menjelma rupa tanpa demos (daulat rakyat).

Ya marilah kita ingat akan pelajaran revolusi Prancis itu, marilah kita ingat bagaimana kadang-kadang palsunya semboyan demokrasi, yang tidak menolong rakyat jelata, membinasakan rakyat jelata sebagaimana yang terjadi dalam revolusi Prancis itu. Marilah kita awas jangan sampai rakyat indonesia tertipu oleh semboyan “demokrasi” sebagaimana rakyat jelata prancis itu, yang akhirnya ternyata hanya diperkuda belaka oleh kaum borjuis yang bergembar-gembor “demokrasi” –kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan, tetapi hanya mencari kekusaan sendiri, keenakan sendiri, keuntungan sendiri.

Kini, seluruh rakyat indonesia menemukan betapa orasi-sosial Soekarno itu pada akhirnya, nampak dalam wajah demokrasi ke-Indonesiaan. Demokrasi, yang dicitakan sebagai sistem bernegara, mengambil jalan lain, berada dalam gelombang yang arusnya membincang rakyat tapi pada fase geraknya menjadi sebuah alat ingkar, serakah, demokrasi menjadi eksploitatif, terhadap rakyat. Sayangnya demokrasi cilaka itu justru nampak dari mereka yang berjuang atas nama Soekarno, atas nama Nawacita itu sendiri.

Benarlah, bahwa Kenyataan, Kolektif-sosial demokrasi dalam Republik sebagai bentuk Negara dalam narasi plato terus bersitegang, berkelindan dengan Negara Ideal. Negara dalam dunia fenomen begitu semakin menjauh dari kesempurnaan, karena ia tak pernah mencoba memasuki dunia eidos, Negara ideal dimana kesegalaan  mestinya teratur dan adil.

Jika kita mau mengikuti helat akbar Pemilu 2019. Pernah lautan manusia berdesakan, menyesak jalan-jalan sosial, podium panggung depan dijejeri sekumpulan manusia, menampak tinggi dari yang rendah, minoritas yang kuasa dari  mayoritas yang lemah. Di sana Indonesia Berdaulat di panggungkan, api Nawacita di nyalakan. Tapi itu hanyalah sebuah panggung, tak lebih dari itu.

Baca juga: Menyelamatkan Demokrasi Desa

Di Tempat itu, pula tutur teratur rapi, tak ada dosa, ketakmampuan tak  pernah terucap. Dihadapan masyarakat  yang setia menjejaki tanah-tanah tandus demokrasi, mereka memandu dalam seragam sorakan, simulasi politik, kemenangan kalau bukan apalagi. Itulah panggung-panggung kampanye, menebar segala hasrat ,jebakan, yang menurut Soekarno, borjuasi memperkudakan demokrasi semata.

Orang-orang di podium itu kini tak bertamu kembali pada ucapnya, sudah menyejarah ada tanda sosial dalam kenyataan, pembeda, pembatas, pemisah yang digagas sedemikian rupa. Kedaulatan rakyat dilenyapkan dalam sebuah simulasi hasrat-sosial-politik, pertarungan citra, dimana kemenangan diajukan, lalu politik tanpa iman di pentaskan.

Pemilu dalam demokrasi telah menjadi sebuah arena, mobilisasi kesadaran berpolitik “prosedural” disana segala kemampuan telah dikerahkan, menurut Hanta Yuda politik adalah totalitas menuju kekuasaan, dengan demikian ia menyerap energi yang begitu luar biasa, untuk berderap membangun singgasana harapan.

Kekuasaan adalah “tempat terbaik” untuk menemukan kehormatan, jabatan, kekayaan. Politik, yang tak mengenal iman. Demikian wujudnya, ia menjadi gerak tanpa malu, tanpa sepuh mulia. Lubang gelap demokrasi, yang menurut Soekarno sebagai ruang memperuntukkan rakyat bagi demokrasi, bukan demokrasi untuk rakyat.

Pemilu atas nama rakyat selalu mengalami titik akhir, segala janji mula berawal kini berakhir, setelah dibisik, disepuhkan kedalam telinga, diurai,ditata sedemikian rapi, hingga tak ada celah ketidak sempurnaan bagi segala telinga untuk tak menerimanya.

Jalan prosedural demokrasi mengalami akhirnya, saat rakyat telah menetapkan pilihannya, meninggalkan bilik suara, pula saat itu demokrasi berakhir bertemu dengan rakyat. Rakyat dipertemukan pada ruang hampa, kemeriahan tanpa tanda makna,perayaan kedangkalan, setelah itu berakhirlah kata rakyat dipuja dan diperbincangkan dalam ruang-ruang sosial. Kata rakyat berujung ganti dengan pemodal. Goenawan Mohamad terang mengutarakan ungkapan novelis, Pemenang Nobel, Saramago:“Pemilihan umum telah jadi representasi komedi absurd, yang memalukan”.

Partai politik  tak pernah berubah, tetap menjadi begitu mekanistik penuh hasrat. Demokrasi kita ditopang oleh partai politik yang tidak mampu melakukan perlindungan terhadap rakyat. Akhirnya Demokrasi begitu cilaka. Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) akhirnya melupakan Ekokrasi (Kedaulatan Lingkungan), atas nama Omnibus Law, hukum melupakan tujuannya untuk dekat terhadap rakyat. Oleh Jimlya Assidiqie dalam buku Konstitusi dan Konstitusionalisme, kegiatan bernegara seperti itu bukanlah kegiatan berkonstitusi, sebab berkonstitusi adalah bernegara itu sendiri.

Pada akhirnya demokrasi terus mengalami jalan penyimpangan. Pemimpin yang lahir dalam demokrasi cilaka tentu hanyalah yang berburu modal. Itulah sebabnya Goenawan Mohamad dalam Orasi Ilmiahnya terang menggugat demokrasi. Demokrasi baginya kini melahirkan kekecewaan. Demokrasi hidup dalam rupa borjuasi. Disana keberanian suci tersimpan didalam laci kekuasaan.

(**)