Memperjuangkan Pemilu Berkualitas


 

Aletheia.d – Masalah utama penyempurnaan demokrasi di negeri ini adalah kelemahan menjaga konsistensi posisi etis. Setiap kali ada usaha untuk meluruskan sesuatu yang terjadi malah menimbulkan lengkungan baru. Warga negara harus terbiasa kecewa dengan hasil yang dituai dari segala sumbangsih dan partisipasinya dalam politik.

Dari pemilu ke pemilu mereka turut merayakan pesta demokrasi hingga bertengkar ihwal jagonya masing-masing, tetapi diabaikan atau dikhianati wakil rakyat dan pemimpin politik pascapemilihan.

Meski demikian, jika ada masalah dengan demokrasi, solusinya bukan berarti harus berpaling pada otokrasi, melainkan menuntut pendalaman dan perluasan demokrasi.

Demokrasi harus diperdalam dengan menjaga konsistensinya dengan basis prinsip, konstitusi, substansi, dan prosedur pelaksanaannya. Demokrasi diperluas dengan menjadikannya budaya dan praktik tata kelola di berbagai bidang dan lapis kehidupan.

Dalam negara demokrasi, kebijakan negara dianggap absah jika mendapatkan persetujuan rakyat, baik secara langsung maupun tak langsung. Salah satu mekanisme persetujuan rakyat itu lewat pemilu.

Pemilu merupakan asupan penting dalam proses penyehatan demokrasi. Apabila asupannya buruk, luaran demokrasi juga akan buruk.

Suatu demokrasi yang memberi ruang bagi pemilu yang irasional dan tak bertanggung jawab, penuh pelanggaran, dan kecurangan akan memberi pengantar bagi kemunculan berbagai bentuk malapraktik dalam kekuasaan dan distorsi dalam kebijakan negara.

Fungsi pemilu

Pemilu bermutu memiliki fungsi positif dan negatif. Fungsi positif pemilu adalah untuk memilih wakil rakyat—di badan legislatif dan eksekutif—yang dapat memperjuangkan aspirasi rakyat lewat pembuatan peraturan dan kebijakan untuk perkembangan warga dan kebajikan publik.

Fungsi negatif pemilu adalah untuk menyediakan mekanisme kontrol atas kekuasaan, dengan mencegah orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaan dan memiliki rekam jejak buruk untuk berkuasa (mempertahankan kekuasaan), dengan jalan tidak memilihnya.

Prinsip pokok demokrasi menekankan bahwa setiap warga negara yang terpengaruh oleh suatu keputusan harus memiliki peluang berpartisipasi dalam pembuatan keputusan.

Dalam tradisi demokrasi desa atau negara-kota—dengan jumlah penduduk terbatas, seluruh warga (yang memenuhi syarat) ikut berkumpul untuk mengambil keputusan bersama mengenai segala kebijakan terkait kehidupan publik.

Setelah kebijakan disepakati, perlu dipilih pejabat eksekutif. Dalam tradisi Athena, pemilihan pejabat eksekutif ini sengaja ditempuh dengan jalan lotre demi kesempatan yang setara bagi setiap warga sehingga yang tak populer sekalipun bisa terpilih.

Tatkala jumlah penduduk menjadi besar, partisipasi rakyat tidak secara langsung, melainkan melalui mekanisme demokrasi perwakilan.

Di negara-negara demokrasi mapan, tatkala seorang sudah selesai mengemban jabatan presiden, mereka akan kembali sebagai rakyat biasa.

Tantangannya adalah bagaimana rakyat bisa memilih wakilnya, baik di badan legislatif maupun eksekutif, yang mampu mengemban aspirasinya dalam pembuatan kebijakan dan pelaksanaan pemerintahan.

Modal integritas dan kapasitas wakil rakyat menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Perlu disadari bahwa tujuan politik dan eksistensi negara adalah sebagai wahana perwujudan keadilan, kebajikan, dan kebahagiaan hidup.

Seperti diingatkan oleh Aristoteles, pembeda manusia dari hewan lainnya, selain kekuatan bicara, adalah kemampuannya untuk membedakan antara yang adil dan yang zalim, yang baik dan yang buruk. Seiring dengan itu, eksistensi negara sebagai institusi manusia pun memiliki tujuan moral.

Dalam memenuhi tujuan moral keadilan dan kebajikan kenegaraan, para aspiran kekuasaan perlu menyadari bahwa tak ada seorang pun, bahkan figur paling berjasa sekalipun, yang lebih besar dari negara.

Negara dan peraturannya jauh lebih penting ketimbang perseorangan. Menurut Aristoteles, untuk menjamin keadilan, ”tak ada seorang pun yang boleh memerintah lebih lama dari pengalaman diperintah”.

Semua orang berhak mendapat gilirannya. Janji ”mewakafkan diri” untuk kepentingan negara sungguh mulia, tetapi tak bisa menjadi justifikasi untuk mengabsahkan seseorang bisa (terus) berkuasa.

Itulah sebabnya mengapa di negara-negara demokrasi mapan, tatkala seorang sudah selesai mengemban jabatan presiden, mereka akan kembali sebagai rakyat biasa; bisa menahan diri untuk tidak terus mengurusi kekuasaan dan kepartaian.

Dengan begitu, ada ruang bagi pengembangan pemimpin-pemimpin baru secara berkesinambungan dan berkeadilan.

Adapun kapasitas yang diperlukan bagi pemangku kekuasaan sesuai dengan peran dan fungsinya. John Stuart Mill menilai bahwa kelompok terbatas lebih baik dari orang per orang dalam melahirkan pemikiran yang bulat dan cermat (deliberation), tetapi individu-individu (ahli) lebih baik dalam tindakan.

Kekuasaan legislatif sebagai kerja kelompok dalam merumuskan legislasi dan pengawasan lebih memerlukan kemampuan penalaran kritis, deliberatif, artikulatif, dan argumentatif dengan kearifan.

Kerja eksekutif terutama melakukan tindakan yang memerlukan keahlian pemerintahan. Ibarat mengemudikan kapal, seseorang perlu kecakapan navigasi. Begitu pun dalam mengemudikan bahtera negara.

Michel Foucault menegaskan, ”Pemerintah, oleh karena itu, memerlukan lebih dari sekadar usaha mengimplementasikan prinsip-prinsip umum pemikiran, kebijaksanaan, dan kehati-hatian. Pengetahuan spesifik tentang tata kelola pemerintahan juga sangat diperlukan: pengetahuan yang konkret, tepat, dan terukur.”

Namun, betapa pun ahlinya (apalagi bukan ahli), politisi sering kali gagal memenuhi janjinya. Lebih dari itu, tidak pernah ada sistem politik yang sempurna dan tidak selalu tersedia kandidat wakil rakyat yang sesuai dengan harapan.

Apalagi kekuasaan juga cenderung mendorong korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Dalam situasi demikian, mencegah keburukan berkuasa lebih baik diutamakan.

Franklin P Adams mengingatkan, ”Pemilu acapkali dimenangi kandidat tertentu bukan karena kebanyakan orang memilih untuk mendukung seseorang, melainkan untuk melawan seseorang.”

Pemilu memiliki fungsi kontrol sosial untuk mencegah mereka yang menyalahgunakan kekuasaan atau mereka yang memiliki rekam jejak dan kinerja buruk bisa (terus) berkuasa.

Keterdidikan dan tanggung jawab

Masalahnya, dalam rangka mendukung dan mencegah wakil rakyat berkuasa itu, rakyat pemilih bisa terkecoh.

Terlebih dalam keserbahadiran media digital, persepsi publik mudah teperdaya oleh mesin pencitraan sehingga ideologi bisa dibenamkan oleh ”imagologi”, integritas-kapasitas bisa tersisihkan kekuatan algoritma, demokrasi bisa dikangkangi oleh ”timokrasi” (kekuasaan berbekal popularitas).

Maka, pemilu memerlukan prasyarat pendidikan politik dan pemahaman tercerahkan. Setiap warga harus memiliki akses yang setara dan efektif untuk mempelajari visi-misi, kebijakan, dan program yang dijanjikan beserta kemungkinan akibat-akibatnya.

Untuk itu, harus tersedia sumber informasi alternatif untuk mendapatkan pengenalan dan penilaian yang lebih utuh. Perlu juga dijamin kebebasan informasi, berserikat, berkumpul, dan berpendapat; bebas dari ketakutan dan represi.

Pelatihan khusus perlu diberikan, tak terbatas pada segelintir elite penguasa—yang diidealisasikan Plato, tetapi juga bagi seluruh warga—seperti dimaui Jean-Jacques Rousseau.

Rerata warga negara akhirnya berpeluang lebih besar untuk bertindak tepat dalam politik. Warga yang telah terlatih itu lantas berperan aktif dalam demokrasi sebagai bagian dari pengalaman kolektif perwujudan kedaulatan.

Demokrasi hanya bisa berjalan baik apabila disertai kehadiran warga negara yang kompeten, yang dapat mengemban kewajiban kewargaan. Wahana pendidikan paling efektif untuk melatih kompetensi kewargaan ini adalah keterlibatan aktif warga negara dalam pemilu. Pemilu yang baik menjadi wahana pendidikan politik yang baik, bukan wahana perusak mental dan karakter kewargaan.

Pendidikan politik yang baik memberi terang kesadaran bahwa memperjualbelikan institusi-institusi kebajikan publik mengandung daya korosif dan koruptif bagi perkembangan bangsa. Pilihan politik bukan untuk diperjualbelikan karena hal itu menyangkut hak dan kewajiban warga negara.

Kewajiban kewargaan tidak sepatutnya dianggap sebagai properti perseorangan yang bisa dijual, tetapi harus dipandang sebagai pertanggungjawaban publik. Menjual hak pilih menjadikan urusan publik dikendalikan kekuatan privat.

Semuanya itu mensyaratkan pemilu yang jujur, adil, bebas, dan rahasia. Persoalan pemilu tak terbatas pada cara memilih, tetapi penghitungan suara.

Di tangan penyelenggara pemilu dan otoritas negara, kepercayaan rakyat pada demokrasi dan legitimasi kepemimpinan negara dipertaruhkan.

Akhirnya, kita tak bisa mengharapkan kehadiran demokrasi perwakilan dan pemimpin politik yang kompeten tanpa kesertaan warga negara yang berkompeten.

Saat pemilu tiba, tanggung jawab kewargaan itu harus dibuktikan. Kalaupun sulit menjalankan fungsi positif, setidaknya harus memilih untuk mencegah kandidat yang khianat dan tak patut memimpin negara.

Penulis : Yudi Latif,Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Tulisan ini sebelumnya telah terbit di Harian Kompas