Tambang Emas Latimojong, Keberuntungan ataukah Petaka ?


Afrianto, M.Si. (Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi, Universitas Hasanuddin)

Opini, Aletheia.id – Gunung Latimojong merupakan gunung tertinggi di Sulawesi-Selatan dengan ketinggian mencapai 3.478 meter di atas permukaan laut. Gunung ini tidak saja menjadi penanda geografis yang penting, tapi juga memiliki nilai ekologis dan hidrologis yang strategis bagi sejumlah Kabupaten di Sulawesi Selatan seperti Luwu, Enrekang, Sidrap, Wajo, dan Pinrang.

Namun, sejak ditemukan potensi emas di gunung Latimojong, manusia membawa alat -alat besar dengan ambisi yang lebih besar lagi. Latimojong masih tetap kokoh berdiri, tapi tubuhnya penuh luka. Kita telah menukar keberuntungan yang berumur ribuan tahun itu dengan tambang emas yang hanya memberi petaka panjang.

Pada situs resmi PT Masmindo Dwi Area (https://masmindo.co.id/id). Luas Kontrak Karya dan rencana produksi perusahaan ini seluas 14.390 hektar di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Perusahaan ini menargetkan untuk memulai produksi emas pada tahun 2025, dengan tahap awal eksploitasi seluas 1.400 hektar selama 15 tahun.

Dampak ekonomi dan kerusakan lingkungan

Tambang emas tidak sekemilau yang dibayangkan bagi kesejahteraan sosial-ekonomi. Dalih perusahaan memberikan dampak kesejahteraan, nyatanya berbanding lurus dengan kerusakan ekosistem lingkugan yang pada ujungnya juga memberi dampak buruk bagi kesejahteraan masyarakat yang berkepanjangan.

Aktivitas pertambangan akan memberikan dampak negatif yang begitu besar pada aspek lingkungan, sosial dan ekonomi. Sebagaimana dalam banyak kasus yang dipotret oleh WALHI, JATAM dan NGO lainnya menyebutkan konflik horizontal terjadi pada areal sekitar pertambangan, dikarenakan tidak semua masyarakat di wilayah terdampak sekitar pertambangan akan diserap sebagai tenaga kerja, sehinggga kondisi ini juga memungkinkan akan terjadi potensi konflik. Kondisi lainnya adalah terjadinya kondisi kritis pada lahan- lahan pertanian produktif karen sumber air berasal dari hulu dimana aktivitas tambang dilakukan.

Kerugian pada sumberdaya dan jasa secara luas dan kompleks untuk masyarakat tentu saja perlu dikuantifikasi untuk melihat dampak dan sisi lain dari aktivitas pertambangan ini. Gretchen (1997) mendefinisikan Jasa ekologi sebagai jasa esensial yang kita butuhkan untuk kehidupan yang disediakan oleh alam. Jasa ini mencakup interaksi antara organisme dan lingkungan alaminya, termasuk siklus air dan nutrisi dasar yang dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia.

Jika kita menghitung nilai jasa ekosistem atau nilai kerusakan lingkungan (TEV) dengan mengkuantifikasi seluruh nilai jasa ekosistem yang hilang atau rusak akibat dari aktivitas pertambangan ini dengan komponen seperti nilai manfaat langsung, nilai pilihan atau potensi manfaat masa depan, nilai eksistensi dan manfaat tidak langsung, tentu saja perkiraan kerugian ini sangat besar. Itu artinya, untuk setiap nilai yang  dihasilkan dari kegiatan ekstraktif ini, dipastikan akan ada biaya kerusakan lingkungan yang tidak masuk ke dalam perhitungan keuangan perusahaan, namun ditanggung masyarakat dan ekosistem.

Pemerintah daerah perlu mempertimbangkan politik valuasi

Gunung Latimojong yang kita lihat selama ini merupakan rahim purba yang  mengandung sungai, hutan, dan doa-doa manusia. Kini, sungai itu tak lagi menjadi berkah, melainkan pembawa lumpur. Ketika hujan turun, ia tak lagi diterima bumi, sebab akar-akar telah tercabut. Maka longsor turun tanpa ampun, dan banjir menyapu desa-desa yang tak pernah menduga.

Tapi manusia itu, dengan penuh keyakinan terus berbicara kemajuan daerah. Katanya sambil meyakinkan, tambang emas menyerap tenaga kerja, membentuk modal, menambah Pendapatan Asli Daerah. Namun, apa daya bagi rakyat, pemerintah telah memberi cap legal untuk mengoyak tanah ini.

Namun, apakah pemerintah daerah dan masyarakat di kabupaten Luwu hanya bisa menerima kenyataan pahit ini bahwa kebijakan pertambangan sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat ? apakah kita harus terpaksa beradaptasi atas hilangnya jasa ekosistem hutan kita dan sumber penghidupan primer kita ?

Pilihannya ada pada pemegang palu kebijakan daerah seperti apa membuat skenario kebijakan yang memberikan imbal balik dengan pendekatan yang strategis. Tentu saja, dampak dari keseluruhan aktivitas pertambangan ini akan menjadi urusan yang paling mencolok bagi pemerintah daerah saat ini dan masa mendatang.

Kerjasama lintas lembaga dan stake holder dalam valuasi perlu dilihat secara kompleks, khususnya dalam konteks proses pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan. Pemerintah daerah bisa membangun konstruksi hukum seperti dimensi praktis dan normatif untuk menyeleksi jasa- jasa ekosistem yang dapat dinilai kerugiannya dan kewajiban perusahaan yang harus dipenuhi.

Tentu saja perhitungan jasa lingkungan yang dinilai akan mempengaruhi metode, tuntutan, upaya dan biaya yang dibutuhkan. Terlebih lagi, mendefinisikan jasa ekosistem yang dinilai juga bergantung pada prioritas dan tujuan yang ingin dicapai oleh pemangku kepentingan dan situasi politik di pemerintah daerah saaat ini.

Terakhir, semoga bupati dan wakil bupati membacanya sebagai sebuah diskursus kebijakan.

Penulis : Afrianto, M.Si. (Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi, Universitas Hasanuddin)