Turbulensi Kehidupan


ANTARA FOTO/YULIUS SATRIA WIJAYA/PRAS

OPINI, Aletheia.id – Hari-hari terakhir ini lukisan kehidupan anak bangsa amat memprihatinkan, mencekam, bahkan menakutkan. Hampir setiap kali kita membuka postingan pesan Facebook, WAG atau Twitter, berderet panjang berita tentang teman, adik, kakak, ibu, ayah atau sanak saudara lainnya yang terinfeksi Covid-19, dirawat di rumah sakit, diisolasi mandiri, dijemput ambulans, sekarat di tempat tidur, hingga mengembuskan napas terakhir.

Juga, berita-berita media tentang rumah sakit-rumah sakit yang kewalahan menampung pasien, kelangkaan tabung oksigen, jalan-jalan yang ditutup, antrean di pemakaman—semuanya adalah lukisan muram anak bangsa yang tengah berjuang keras untuk hidup.

Semua ini tidak hanya tentang aroma ketakutan, kesedihan dan derai air mata, tetapi juga tentang lorong ketakpastian hidup. Anak bangsa ini ada di lorong panjang ketakpastian itu: antara terinfeksi atau imun, sehat atau sakit, negatif atau positif, pulih atau meninggal, tetap di rumah atau bepergian, dapat makan atau kelaparan, terus bekerja atau diberhentikan.

Pasung ketidakpastian ini menelikung segenap lapisan masyarakat, setiap kelas sosial, semua kelompok gaya hidup, seluruh suku dan segala ras—tidak ada yang tersisa. Inilah titik ambang batas (threshold) dalam dunia kehidupan, yang menyisakan kebimbangan dan kegamangan hidup—the turbulence of lifeworld.

Dalam segala keterbatasan, manusia tentu berupaya melepaskan diri dari telikung ketakpastian ini. Misalnya, upaya pemerintah memberlakukan aturan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat mulai tanggal 3 Juli lalu di beberapa wilayah.

Meskipun belum maksimal, setidaknya ada efek perubahan gerak-gerik masyarakat—individu, kelompok, komunitas—ke arah kepatuhan terhadap protokol kesehatan.

Meningkatnya penjualan beberapa jenis vitamin dan suplemen setidaknya juga menjadi indikator bahwa masyarakat berusaha meningkatkan imunitas tubuh mereka. Artinya, dalam telikung ketidakpastian, gerakan “perang melawan virus” itu tetap hidup!

Turbulensi sosial

Pandemi Covid-19—khususnya varian baru Delta—layaknya hantaman tsunami, telah menimbulkan kekacauan, ketakpastian dan turbulensi dalam kehidupan sosial. Efek kepanikan dari turbulensi ini telah mengancam ketahanan fisik, sosial, ekonomi dan budaya.

Turbulensi secara filosofis adalah keadaan antara atau mengambang: antara keberaturan dan kekacauan, antara kepenuhan dan kehampaan, antara determinisme dan indeterminisme, antara ada dan tiada, antara yang dapat diprediksi dan tak-dapat diprediksi, antara integrasi dan disintegrasi, antara kesatuan dan keterpecahan, antara sehat dan sakit, atau antara hidup dan mati. (Serres, 1998)

Turbulensi lahir karena ada pengganggu atau recok (noise), seperti virus atau parasit. Dan, Covid-19 adalah sang pengganggu itu, yang merecoki kehidupan anak bangsa.

Virus dan parasit sama-sama pembonceng, perecok, pembajak dan penumpang gelap pada tubuh manusia sebagai inang, yang dapat menimbulkan efek kerusakan multi-dimensi. Ada hubungan asimetris antara parasit dan inang. Inang memberi semuanya, dan tak mengambil apapun.

Sebaliknya, parasit mengambil semuanya dan tidak memberi apapun. (Serres, 1995). Pandemi Covid-19 menimbulkan turbulensi kehidupan karena ia merecoki kehidupan biologis, sosial, ekonomi, politik dan kultural anak bangsa, bahkan merusak peradaban—the noise of civilization. Turbulensi menciptakan ambang batas bersifat multidimensi: fisik, sosial, psikis dan kultural. Ambang batas adalah sesuatu yang mengambang atau terombang-ambing pada garis batas. (Kristeva, 1991). Pandemi Covid-19 telah menciptakan titik ambang batas fisik: antara imun dan terinfeksi, antara sehat dan sakit, antara hidup dan mati.

Ia juga menciptakan kondisi ambang batas psikis: antara aman dan terancam, antara tenang dan takut, antara lepas dan terkungkung. Ia juga menciptakan ambang batas sosial: antara berkumpul dan berjarak, antara kebebasan dan isolasi, antara integrasi dan disintegrasi. Kondisi ambang batas ini telah memperkelam lorong ketakpastian.

Covid-19 telah menimbulkan kekacauan, keacakan dan ketakpastian dalam aneka skala. Ketakpastian lalu membawa pada kondisi ketakter-prediksi-an maksimum pada aneka sistem, karena tingginya jumlah pilihan-pilihan dan sifatnya yang acak: sosial, ekonomi, politik, budaya, seni. (Campbell, 1984).

Tetapi, harus diingat, recok sudah setua sejarah penciptaan manusia, yang sudah ada sejak awal kejadian manusia di bumi. Iblis yang merayu Adam dan Hawa agar memakan buah kuldi adalah satu bentuk recok pertama. Recok kemudian menjadi “panggung belakang” dari seluruh sejarah kehidupan manusia hingga kini dan juga seterusnya nanti. (Serres, 1998).

Selain itu, pandemi Covid-19, layak pula menjadi sebuah bahan refleksi diri tentang makna kehidupan. Beban derita dan ketakutan yang dialami manusia akibat pandemi Covid-19 memang tidak terlukiskan. Akan tetapi, dalam kondisi normal, bukankah manusia itu juga virus dan parasit?

Meniru perilaku virus, manusia juga pembonceng dan recok bagi manusia lain serta alam. Manusia menguras sumberdaya alam demi pemuasan hasrat, tanpa pernah memberi apapun sebagai imbalan. Manusia juga “mempermudah” pandemi Covid 19, karena virus “membonceng” pada kemudahan yang disediakan teknologi produksi, transportasi, dan distribusi global ciptaan manusia.

Meskipun demikian, “perang melawan virus” toh harus tetap digelar demi mempertahankan hidup. “Bio-politik” adalah jalan politik untuk mempertahankan hidup dalam sebuah sistem dan kondisi yang ada. Sementara, bio-power adalah “hidup yang menjadi sasaran komando politik,” (Foucault, 1986).

Anak bangsa kini terlibat di kedua bentuk “politik” ini. Di satu pihak, setiap orang harus mempertahankan hidup dalam ancaman hebat pandemi, dengan segala cara. Di pihak lain, pemerintah menggunakan otoritasnya untuk mengatur, mengendalikan dan membatasi masyarakat, demi mengurangi dampak pandemi Covid-19.

Konflik terjadi, ketika ada jurang antara bio-politik dan bio-power, yaitu kontradiksi antara gerak-gerik masyarakat dalam mempertahankan hidup dan gerak gerik pemerintah dalam mengatur. Kian besar jurang antara gerak-gerik masyarakat dan pengaturan pemerintah, kian besar efek turbulensi dan ketakpastian yang ditimbulkan dalam perang melawan virus, seperti yang terjadi di beberapa negara.

Sebaliknya, kian melekat chemistry antara suasana batin masyarakat dan langkah kebijakan, program dan gerak-gerik pemerintah, kian tangguh mesin perang anak bangsa melawan virus.

Resiliensi budaya

Seberat apapun beban kehidupan, respons melawan virus harus diberikan, untuk tetap bertahan hidup. Resiliensi adalah respons kognitif, perilaku dan emosi yang fleksibel terhadap aneka kesulitan, yang sangat ditentukan oleh sikap dalam menghadapinya.

Ia adalah jalan untuk membangun kebertahanan dan bangkit dari kesulitan bersifat disruptif, seperti pandemi Covid-19. (Neenan, 2018).

Aneka cara, metode, dan teknik telah dilakukan oleh berbagai elemen bangsa untuk meningkatkan kebertahanan menghadapi efek pandemi. Proses pemulihan mungkin akan panjang, yang akan menciptakan kebiasaan-kebiasaan baru. (Fiksel, 2015)

Akan tetapi, resiliensi harus didukung oleh pemahaman komprehensif, terintegrasi dan mendalam tentang virus dengan segala dimensinya. Selain sudut pandang virologi, virus harus dilihat dari sudut pandang lebih luas dan terintegrasi: sosial, politik, ekonomi, budaya, seni dan keagamaan.

Patografi adalah pendekatan lintas-disiplin macam ini, sebagai ramuan narasi historis, biologis, sosial, politik, ekonomi dan kultural penyakit dan penularannya. Inilah metanarasi tentang krisis atau penyakit di ruang-waktu tertentu, termasuk pandemi Covid-19 dan aneka variannya. (MacPhail, 2014)

Dalam perang melawan Covid-19, selain lintas-disiplin, diperlukan pula pendekatan lintas-sektoral dan lintas-institusional. Pada tingkat akademis, perlu dihasilkan pemikiran, konsep, sistem, bentuk atau produk-produk terkait virus melalui aneka temuan ilmiah lintas-disiplin, yang melibatkan aneka disiplin kedokteran, virologi, sains, teknologi, sosiologi, ekonomi, psikologi, kebudayaan, seni, dan lain-lain.

Pada tingkat kepemerintahan, perlu kebijakan, program dan tindakan lintas-sektoral dan lintas-institusional terintegrasi. Pada tingkat masyarakat, perlu gerakan akar rumput tingkat individu, komunal dan sosial dalam semangat “gotong royong” mengatasi masalah bersama, melampaui segala perbedaan sosial-politik.

Selain itu, perlu optimalisasi dan integrasi atas tiga upaya yang tengah dilakukan. Pertama, memaksimalkan kepatuhan terhadap prosedur kesehatan yang sudah digariskan secara nasional. Kedua, memaksimalkan imunitas diri sesuai dengan kemampuan, dan bila memungkinkan menemukan gagasan-gagasan inovatif terkait kebertahanan dan imunitas.

Ketiga, intensifikasi pendekatan diri kepada Tuhan melalui doa, karena agama mengajarkan bahwa segala penyakit pasti ada obatnya. Memang, virus tak bisa dibasmi karena ia bagian historis keseimbangan alam. Tetapi, ia harus dilawan untuk meredam guncangan turbulensi dan efek merusaknya pada kehidupan. Semoga anak bangsa diberi kekuatan, imunitas dan kesehatan.

Oleh: Yasraf Amir Piliang

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Juli 2021