Ketimpangan di Tengah Kekayaan SDA: Catatan Kritis di Hari Jadi Kabupaten Luwu


Afrianto, M.Si (Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi UNHAS)

Opini, Aletheia.id – Baru saja langkah waktu membawa Kabupaten Luwu melangkah ke usia ke-66. Sebuah usia yang tidak muda lagi. Usia ini tentu bukan sekadar angka administratif, melainkan sebuah perjalanan panjang penuh dinamika yang mencerminkan proses otonomi daerah. Di usia yang matang ini, Kabupaten Luwu seharusnya mampu menunjukkan bahwa ia tidak hanya besar dalam nama, tetapi juga dalam kemampuan mengelola diri sebagai daerah otonom yang memiliki potensi besar mensejahtrerakan rakyatnya.

Pada setiap momentum hari jadi kabupaten, pemerintah daerah biasanya menyampaikan capaian program pembangunan yang telah dilakukan. Dalam berbagai sambutan dan laporan resmi, sering ditampilkan data-data statistik yang optimis: pertumbuhan ekonomi yang stabil, peningkatan infrastruktur, akses pendidikan dan layanan kesehatan yang membaik, serta realisasi APBD yang meningkat. Namun, jika kita turun langsung ke lapangan, akan ditemukan cerita lain. Cerita rakyat biasa yang jarang tersorot dalam narasi resmi.

Misalnya, bagaimana nasib para petani yang tinggal di dekat area tambang emas namun kesulitan mendapatkan air bersih? Bagaimana kondisi jalan-jalan rusak yang harus mereka lewati setiap hari? Bagaimana pula para pemuda di wilayah Suli dan Bajo masih kesulitan mencari pekerjaan tetap? Atau bagaimana warga Bastem, Latimojong, dan Suli Barat harus menempuh jarak puluhan kilometer untuk mengakses layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan?

Baca juga: Tambang Emas Latimojong, Keberuntungan ataukah Petaka ?

Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dan dokumen RPJMD Kabupaten Luwu, ada fakta sosial yang tak bisa diabaikan. Indeks kedalaman kemiskinan (P2) dan ketimpangan pengeluaran (Gini Ratio) masih berada di level yang cukup memprihatinkan. Meskipun pada November 2024 persentase penduduk miskin di Luwu tercatat sebesar 11,7%—sedikit lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya—angka ini tetap menjadikan Luwu sebagai salah satu dari tiga kabupaten/kota termiskin di Sulawesi Selatan.

Selain itu, indeks Gini Kabupaten Luwu masih berada di angka 0,38. Angka ini menunjukkan bahwa ketimpangan belum sepenuhnya tertangani dengan baik. Artinya, sebagian masyarakat mulai menikmati hasil Pembangunan dan sebagian lainnya justru semakin termarginalisasi. Sayangnya, selama ini pelaksanaan pembangunan banyak diukur dari realisasi proyek fisik dan serapan anggaran yang terserap namun dampaknya kurang dirasakan. Padahal, apa arti semua itu jika tidak benar-benar menyentuh kehidupan nyata masyarakat bawah.

Masalah lainnya bahwa struktur tenaga kerja kabupaten luwu masih didominasi oleh masyarakat yang berpendidikan tidak tamat SD, tamat SD, hingga SMP, jumlahnya bahkan melebihi 50 persen dari total angkatan kerja. Fakta ini merupakan tantangan besar dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia di tengah tuntutan ekonomi modern yang semakin kompetitif. Ketika sebagian besar pekerja hanya memiliki bekal pendidikan dasar, tentu saja sangat sulit untuk mengharapkan produktivitas yang tinggi atau kemampuan adaptasi terhadap perubahan teknologi dan industry yang mulai tumbuh.

Investor Asing dan Nasional: Investasi atau Eksploitasi?

Keberadaan investor lokal maupun asing memang memberikan kontribusi bagi perekonomian di daerah. Namun, perlu juga adanya kewaspadaan. Jangan sampai kita terjebak pada apa yang disebut dengan kutukan sumber daya alam. Kekayaan alam melimpah  yang seharusnya menjadi anugerah, justru dapat berubah menjadi bumerang apabila tidak dikelola secara transparan. Kronenberg (2004) menyebutkan bahwa negara atau daerah yang kaya sumber daya alam cenderung lambat berkembang karena dominasi segelintir kelompok, maraknya korupsi, dan semakin termarginalisasinya rakyat jelata.

Fenomena ini bisa juga berpotensi terjadi di Luwu apabila tidak ada pengawasan yang kuat dan kontrol dari masyarakat sipil serta Lembaga-lembaga sosial (NGO) dan akademik. Kasus-kasus di daerah lain menunjukkan bahwa oknum politik sering kali berkolusi dengan perusahaan demi keuntungan kelompok tertentu, sehingga mengurangi efektivitas fungsi pemerintah sebagai regulator dan pengawas. Bahkan, isi perjanjian antara pemerintah daerah dan investor seringkali timpang, sehingga merugikan masyarakat setempat.

Di balik kemilau investasi besar, terselip pertanyaan besar dari masyarakat: Apakah investasi ini benar-benar memberdayakan atau hanya menjadi ruang bisnis bagi kelompok tertentu? Jawaban atas pertanyaan ini tidaklah hitam-putih. Namun, satu hal yang pasti: jika pembangunan tidak didasari prinsip keadilan dan keberlanjutan, maka investasi pun berpotensi berubah menjadi penjarahan.

Peran Pemerintah dan Stakeholder Lokal dalam Pembangunan Inklusif

Dalam konteks ini, Pemerintah daerah sangat penting untuk menjalankan fungsinya sebagai regulator dan pengawas yang efektif. Selain itu, stakeholder lokal, termasuk masyarakat sipil dan Lembaga-lembaga sosial harus turut serta dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi aktif masyarakat merupakan fondasi dari pembangunan yang berkelanjutan, adil, dan inklusif.

Kehadiran investasi jangan hanya dilihat dari besaran nilai atau kontribusi terhadap APBD, tetapi juga harus bermakna dengan memprioritaskan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat secara luas. Untuk itu, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi menjadi prinsip utama dalam pengelolaan sumber daya alam dan kerjasama dengan investor.

Merayakan hari jadi Kabupaten Luwu jangan sekadar dijadikan momentum untuk bangga akan pencapaian, tetapi juga secara mendalam mampu merefleksi kritis terhadap arah pembangunan. Data-data statistik yang disajikan harus dilengkapi dengan cerita rakyat biasa yang hidup di pelosok desa. Pembangunan yang sukses bukanlah yang hanya terlihat megah di laporan tahunan, tetapi yang mampu membawa perubahan nyata dalam kehidupan masyarakat bawah.

Sebagai daerah yang kaya dengan potensi sumber daya alam, Luwu harus mampu mengolah sumber daya primernya yang lain di luar sektor pertambangan sehingga tidak terjadi ketergantungan di satu sektor saja. Masyarakat lokal harus didorong untuk menjadi bagian dari rantai produksi pertanian dalam arti luas. Visi agribisnis harus menyentuh sisi ini secara serius, melalui pelatihan vokasi, penyuluhan pertanian modern, dan integrasi teknologi digital dalam proses produksi hingga pemasaran hasil.

Visi agribisnis Kabupaten Luwu harus diletakkan dalam kerangka yang lebih luas: bukan hanya mendorong peningkatkan produksi pertanian, tetapi juga mampu menciptakan sistem agribisnis yang berkelanjutan, adil, dan memberdayakan rakyat. Ini adalah langkah untuk memastikan bahwa kekayaan alam yang dimiliki oleh rakyat, dikelola oleh rakyat, dan hasilnya dinikmati oleh rakyat itu sendiri

Penulis: Afrianto, M.Si (Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi UNHAS)