Luwu, Aletheia.id – Di tengah hiruk-pikuk isu pembangunan desa dan dinamika investasi tambang, sosok Baso S.H. hadir bukan hanya sebagai Kepala Desa Bonelemo. Jejak panjangnya sebagai aktivis, legislator, hingga penggerak masyarakat adat menampilkan dirinya sebagai pemimpin desa dengan pandangan yang melampaui batas administratif. Baso kerap menautkan pandangannya dengan arah pembangunan Luwu secara keseluruhan-sebuah visi yang jarang dimiliki pemimpin di level akar rumput.
Di tepi lapangan desa, Baso berdiri tegak. Angin pegunungan menyapa wajahnya, membawa gema suara anak-anak yang melantunkan “Indonesia Raya”. Bagi Baso, kemerdekaan tidak sekadar upacara dan lagu kebangsaan. Ia hidup di sawah yang harus tetap hijau, di sungai yang mesti jernih tanpa limbah, dan di suara rakyat yang wajib hadir dalam setiap kebijakan.
Baso lahir pada 25 Mei 1969 di Bonelomo, dari pasangan almarhum Muhammad Arsyad dan almarhumah Cimpau. Anak ketiga ini tumbuh dalam tradisi desa yang dekat dengan alam. Pendidikan membawanya merantau ke Makassar, menempuh studi di Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin, lalu Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Di era 90-an, ia dikenal sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dari organisasi itulah, ia belajar mengasah nalar kritis dan kepekaan sosial. Lebih dari 15 tahun hidupnya di LSM: mendampingi masyarakat, menangani konflik, memediasi sengketa, hingga menggerakkan pelestarian lingkungan di Sulawesi Selatan.
Rekam jejaknya panjang, dari pemberdayaan hukum bagi kelompok petani di Bantaeng, program peningkatan kapasitas LSM bersama Bappenas dan JICA, pengelolaan DAS Paremang dengan dukungan DFID, hingga analisis risiko bencana bersama Oxfam. Ia juga pernah melatih pegawai BKSDA dalam manajemen konflik sumber daya alam dan melakukan pelatihan konflik di beberapa tempat lain, hingga memfasilitasi studi efektivitas Musrenbang di Sulawesi Selatan.
Nama Baso juga tercatat di dunia politik. Ia duduk sebagai Anggota DPRD Kabupaten Luwu periode 2014–2019. Kini, ia kembali ke akar, mengemban amanah sebagai Kepala Desa Bonelomo. Selain itu, ia dipercaya sebagai Gubernur Badan Teritorial Perkumpulan Telapak Sulawesi Selatan–Sulawesi Barat, sekaligus Koordinator Kepala Desa Adat se-Nusantara. Di berbagai forum nasional, ia kerap diminta berbicara tentang masyarakat adat, petani, dan nelayan-kelompok yang selalu ia bela.
Baru-baru ini, namanya kembali mencuat ketika Pemerintah Desa Bonelemo mengeluarkan surat menolak mobilisasi alat berat tambang milik PT Masmindo Dwi Area melintasi wilayah desa, surat itu ia juga sampaikan ke pemerintah daerah Luwu. Larangan yang berlaku sejak 14 Juli 2025, membuat perusahaan akhirnya duduk bersama pemerintah desa dan warga, menghasilkan kesepakatan penting.
Dalam MoU tersebut, PT Masmindo berkomitmen memperbaiki jalan setiap kali rusak, mengikuti nota kesepahaman dengan Pemkab Luwu terkait akses logistik pertambangan dari Belopa hingga Ranteballa-jalur vital yang juga dipakai masyarakat umum. Tak berhenti di infrastruktur, MoU tersebut juga memastikan perusahaan membuka peluang kerja bagi warga desa terdampak.
Konsistensi Baso berpihak pada rakyat membuatnya dikenal luas sebagai pemimpin yang teguh pada prinsip. Dari kampus, jalanan demonstrasi, dunia pemberdayaan, gedung parlemen hingga rapat-rapat desa, ia selalu membawa keyakinan yang sama: masyarakat harus menjadi subjek, bukan korban pembangunan.
“Bagi saya, perjuangan tetap berlanjut dalam ruang apapun. Perjuangan ini soal menjaga agar bumi tetap memberi kehidupan, air tetap menjadi sumber kehidupan, dan generasi di desa tumbuh dalam rasa merdeka yang sejati.” ujarnya.
(*)
