Bulir-bulir padi menguning. Tanaman setinggi 130 cm itu bergerak semampai terterpa angin dari bukit-bukit padang. Ia bergerak ke samping. Ketika angin berhenti, ia kembali seperti semula. Ia ranum setelah umurnya sampai enam bulan. Di umur itu padi telah menua dan siap panen. Pondok-pondok kecil di tengah sawah telah ramai. Rumpun keluarga berkumpul. Saat seperti itu terjadi di kala musim panen tiba. Mereka merapikan diri bergerombol menyabit tanaman lalu mesin dross bekerja.
Setiap orang yang menginjakkan kaki di daerah Seko, Kabupaten Luwu Utara, wilayah yang berada di jantung Sulawesi, bentangan pegunungan Verback dan Quarless – Dataran Tinggi Tokalekaju, akan menemukan tanaman padi yang memiliki daya pikat tersendiri baik secara historis maupun kualitas yang khas.
Menurut keterangan masyarakat, hanya di wilayah Seko padang padi tarone ini bisa tumbuh tegap menghijau, tidak bisa di tempat lain. Orang orang di Seko sering kali mengatakan bahwa padi ini yang pertama tumbuh di Seko. Jika ada yang membawanya keluar dari Seko, hasilnya tidak akan bagus. Tarone merupakan padi varietas lokal unggulan yang telah diakui oleh siapa pun yang telah menikmatinya. Abram tokoh adat Hono’ suatu waktu bercerita soal tarone. Menurutnya, tanaman padi Tarone memilik nilai historis mitos dan juga mengenai rasanya.
Sore itu 22 September 2016, awan hitam menggumpal di atas langit Seko Padang lalu hujan menjatuhkan diri secara serempak di bumi para to/tu Bara. Saya bertemu dengan Abram, tokoh adat wilayah Hono’. Saya berkeinginan mencari tahu tentang Tarone. Dengan suara khas, tangan Abram mulai bergerak tandanya ia mulai serius menceritakan bagaimana tarone itu. Menurutnya, tarone merupakan jenis padi yang ditemukan oleh orang Seko karena itu tarone hanya bisa tumbuh di sini, ucapnya. Ia memilki mitos tersendiri jika tanaman ini dibawa keluar daerah Seko maka tidak bisa menghasilkan buah. Sudah beberapa orang membawanya keluar daerah ke Toraja, Masamba, Palolo Sulteng dan beberapa tempat lain tidak berhasil.
Baca juga : Sekilas Titik Krisis di Sulawesi
Saya teringat pernyataan Pak C. Taely ketika bertemu di rumah Ibu Ruth, kepala desa Padang Balua berkata, “Pernah ada keluarga saya dari Toraja datang. Setelah menikmati beras tarone, ia bermaksud membawanya ke Toraja untuk ditanam, namun hasil tidak bagus.”
Sesekali dengan senyum dan suara khasnya Abram melanjutkan ceritanya. Ia meyakinkan saya bahwa tarone memiliki kualitas yang baik. Menurutnya, bahkan jika sudah menikmati beras ini, rasa beras yang lain berada di bawahnya. Saya pun telah sering menikmatinya dan memang sepertinya yang ia sebutkan. Jika kita menikmati satu piring, harus ditambah satu piring, apalagi jika ditambah dengan lombok Seko yang khas rasa pedisnya.
Abram, yang juga guru Bahasa Indonesia dengan baik menuturkan tentang tanaman padi ini. Menurutnya, suatu ketika di Seko Padang ini ada gadis cantik dengan rambut panjang terurai melihat tangga yang menjulur ke atas dengan tiga anak tangga. Kaki gadis itu menapak dari tangga ke tangga. Setiap sampai tangga ketiga, ia mendapatkan tiga tangga selanjutnya hingga ia sampai ke kayangan. Gadis cantik itu merasa heran dengan apa yang dialaminya.
“Silahkan masuk,” begitu sambutan penghuni tempat tak bernama itu. Abram menyebut tempat itu sebagai kayangan karena zaman dahulu sebelum agama masuk, masyarakat Seko menganut kepercayaan mudihata; menyembah dewa. Gadis cantik itu terheran dengan apa yang orang kerjakan di tempat yang baru ia datangi. Dua bola mata sang gadis bergerak, melirik apa yang ia baru saksikan. Ia memperhatikan orang yang bekerja menyemai tanaman. Sebagai tamu ia kemudian dihidangi makanan.
“Makanan ini tak ada di tempatku,” bisik gadis itu. Ia pun mulai berpikir bagaimana membawa buah jenis makanan itu. Mulanya ia membawa buah tanaman itu dalam jumlah yang banyak. Namun, ia selalu gagal karena ketahuan. Bumi Ina Seko memang berjodoh dengan tangan gadis ini hingga suatu waktu ia menyembunyikan 3 bulir tanaman itu dalam helai rambutnya dan ia berhasil membawanya turun ke bumi. Karena tanaman itu baru, orang-orang kala itu menamainya dengan nama gadis itu; Tarone. Sejak itulah tanaman padi khas ini tumbuh bak gadis cantik sebagaimana Tarone.
“Coba patah bagian buku di antara ruas yang beringga pada padi tarone, akan keluar lendir agak kemerahan seperti darah, itu tarone asli,” sebut Abram tersenyum kepada Ibu Ruth. Kepala Desa Padang Balua pun menceritakan hal yang sama. Ia menyatakan bahwa tarone ini unik sebab kalau di Seko ini penggunaan kata ‘Ta’ itu identik panggilan orang di Seko, baik ia perempuan atau laki laki, seperti Ismail disebut dengan Ta Mail, ucap Ibu Desa sambil tertawa kecil melirik Ismail yang saat itu berada di sampingnya.
“Bagi masyarakat di sini, Tarone adalah napas kehidupan. Kalau hilang maka masyarakat tidak bisa hidup,” ucap Ibu Ruth dengan suara agak keras. Desa Padang Balua pernah mengikuti lomba nasional, dan salah satu produk lokal yang dibawa adalah beras tarone. Di kampung ini, saya telah membuatkan peraturan desa soal rens ternak. Ternak harus diatur tempat penggembalaannya agar tanaman baik yang di sawah maupun di kebun tidak terganggu.
Baca juga: Lesung Kita yang Hilang
Hingga sekarang masih ada yang sesekali mendengar jika lumbung terbakar, padi terbuang sia-sia. Begitu pula nasi. Maka orang akan mendengar suara orang menangis. Sesekali Ibu Ruth tersenyum. Mungkin benar memang bahwa beras tarone ini asal muasalnya dari seorang perempuan.
Maamo – maamo (ucapan kasihan) begitu orang Seko jika ada beras atau padi yang terbuang; baik ketika memanen, menjemur ataupun ketika ada nasi yang tersisa di piring. Mereka menghargainya sebagai ibu. Ketika padi hilang, hilanglah napasnya. “Di sini, tak ada yang menyebut kata maamo kecuali digunakan untuk padi. Tarone sangat dihargai. Kalau tidak, akan “ni peang peang mampamaila” ketika diabaikan ia akan liar dan pergi.
Jika itu terjadi, manusia akan kelaparan. Karena itu, ‘Tarone gadis cantik di jantung Sulawesi’ mesti dijaga. Jika tidak, buku diatara ruas yang beringga akan patah, lalu akan keluar lender kemerahan, pertanda hilangnya sumber kehidupan masyarakat, tak ada ruang tempat bernapas di jantung Sulawesi itu.
Penulis : Hajarauddin Anshar