Sekilas Titik Krisis di Sulawesi


Membaca buku Titik Krisis di Sulawesi; NARASI JURNALISTIK ATAS KEHANCURAN RUANG DAN SUMBER DAYA ALAM karya Eko Rusdianto menampilkan wajah murung pengelolaan sumber daya alam di Sulawesi. Setiap kali kesejahteraan dibicarakan setiap kalipula ada luka menganga yang mengiringinya. Pembangunan mengiris warga lokal dan lingkungan.

Sebagai jurnalis, Eko telah “memungut” yang tersisih dari sorotan media. Eko memberikan dua hal yang patut diapresiasi. Pertama, ia menceritakan ruang kehidupan yang didalamnya luka warga dan kerusakan lingkungan yang disensor, dianggap tak penting, semua atas nama kesejahteraan. Kedua Sebagai Jurnalis, ia menunjukkan wajah otentik bagimanamestinya kerja seorang jurnalis. Karenanya Eko telah menyajikan sketsa murung dari investigasi berbagai kasus yang disulamnya sebagai sketsa titik-titik krisis ekologi di Sulawesi.

Tambang dan perkebunan. Seketika orang menduga bahwa dimana ada tambang dan perkebunan, warga sekitarnya akan tertawa lepas. Benarkah demikian ? Kasus PT Vale dan Tambang Semen di Maros, menunjukkan bagaimana warga lokal tersisih dari ruang hidupnya, kehilangan lingkungan yang baik, yang tidak jarang pada akhirnya kehilangan kebudayaannya; suatu nilai lokal.

Cerita Dongi  adalah dua keping kehidupan yang bersampingan; kesedihan suku Karonsie dan kegagahan kontrak karya yang memukul habis suatu kehidupan lokal. Semenjak pergolakan DI/TII Kahar Muzakkkar, mereka telah menjadi korban, mengungsi meninggalkan kampung halamannya hingga sampai di Gontara, Bateleme, Sulawesi Tengah. Lalu, beberapa pengungsi kembali dengan menyusuri gunung verbeek. Ketika kembali, wilayah adatnya telah menjadi milik Perusahaan nikel PT Vale. Kampung dongi tak lagi seperti dulu, mereka kehilangan bukti atas pemilikan lahan mereka. Seringkali warga dongi berhadapan dengan polisi dan keamanan perusahaan.

“Saya disuruh keluar dari tempat ini, padahal ini kampung leluhur saya. Tidak mungkin saya meninggalkannya. Apapun yang terjadi. Mati sekalipun” kata Yadin (2020;41)

Yadin pada tahun 2003 membangun kembali kampung Dongi, ia membuat tenda kecil, dari situ ia memulai suatu kehidupan. Tapi, ia harus berhadapan dengan aparatus negara. Kampung leluhur; Yadin menyebutnya demikian.  Ungkapan itu punya resonansi, ada keterikan mendalam, membatin yang tak dijangkau oleh tatapan serdadu negara dan penjaga perusahaan. Jika ia pergi syaratnya mati, suatu hal yang tak bisa dinego sama sekali. Hingga akhirnya, Kampung dongi kembali, meskipun dengan alam yang telah rusak. Disinilah Eko menceritakan suatu kehidupan, menyajikan kita fakta seolah kita telah hadir disana, tak hanya dalam bentuk fisik tetapi menyelam kedalam derita warga Dongi.

Di Maros demikian halnya. “Beselimut debu”, Eko mengantar pembacanya untuk mengetahui apa yang terjadi di sana. Letupan – letupan kars terdengar, bom bom pekerja perusahaan meratakan bebatuan kars, lalu debu beterbangan mencemari udara. Limbah semen dari Semen Bosowa dibuang perusahaan menjadi “berkah” bagi  Marhana dan teman sekerjanya. Mereka mengumpulkan sisa – sisa semen dalam karung-karung bekas, lalu mereka menjualnya.  Bertahan hidup dari limbah, meski kesehatan adalah resikonya. Selalu ada yang timpang, terbuang dari kekayaan alamnya sendiri. Mereka mengais berkah dari porak-porandanya bentangan alamnya.

Ulfa menyebut penguasaan dan eksploitasi sumber daya alam mengakibatkan degradasi lingkungan dan kehidupan perempan (2020;65). Gunung kars dilihat semata sebagai sumber daya yang diolah sebagai semen, padahal di bawah Kars, sungai-sungai bawah tanah mengalir sebagai sumber kehidupan masyarakat setempat.  Dalam perut kars ada aliran air. Menjadi penampung air raksasa yang bisa menampung air selama tujuh bulan dari hujan terakhir, kata  Dedy Irfan Bahri General Manager Geopark Maros Pangkep.

Kehidupan sekitar kars tergantung dari tersedianya air, dan kehilangan air adalah kehilangan segala yang hidup, baik di darat maupun biota air. Menghancurkannya, berarti menghancurkan kehidupan itu sendiri. Ketika Ulfa menyebut bahwa pengrusakan Kars mengakibatkan degradasi kehidupan perempuan, saya teringat Gunarti perempuan Kendeng, Jawa Tengah yang menolak pembangunan pabrik semen. Kala itu ketika saya ikut dalam kegiatan belajar saat Kendeng menjemput keadilan melawan tambang semen ia berujar, jika pabrik semen beroperasi yang paling merasakan dampaknya adalah perempuan, sebab ketika pagi hari, perempuan terbangun menyiapkan makanan dan minuman, ketika tak ada air maka perempuanlah yang pertama kali merasakannya.

Sebagai jurnalis, tulisan Eko Rusdianto, telah mengajak kita berselancar memahami pertarungan perebutan ruang pembatasan akses pada pemilik yang sesungguhnya yang selalu lahir dari pertambangan dan perkebunan skala besar yang memarginalkan masyarakat setempat sekaligus menciptakan krisis ekologi. Dari tulisannya, kita mengenali siapa yang menikmati dan siapa yang tersisih. Di tempat – tempat berlangsung konflik itu, ingatan akan kehidupan masalalu yang intim dengan alam hanya berjejak dalam bentuk ingatan.

Penulis : Hajaruddin Anshar