Bagi Aletheia, berita itu tak mendatangkan gelombang kelegaan seketika. Sudah sehari ia menatap layar Tv ukuran 14 Inci di rumahnya. Aletheia kaget, ia mengira kelak mampu berjuang melindungi lingkungan sekitarnya dari jarahan para pemodal. Tapi ia harus menyeka air mata dari tirus wajah yang nampak semakin menua. Sesekali ia menatap hutan disekeliling rumahnya, ia terbayang tetiba RUU Cilaka diketuk, ia mesti berbuat apa.
Tahun 2019 Aletheia terlibat memenangkan pilihannya di wilayah yang ia tempati. Tak tanggung-tanggung gubuknya ia pilih sebagai tempat berdiskusi mengajak warga agar memenangkan kandidat tersebut, karena itu pula Aletheia dianggap memilih jalan berbeda dengan pilihan mayoritas warga di tempatnya.
Bagi Aletheia pilihan itu tak sekedar memaku gambar para kandidat. Aletheia tahu persis ia memilih karena adanya harapan, harapan yang disemai, sebab kewenangan dalam negara demokrasi adalah tempat menaruh harap. Ingatan akan perampasan lahan atas nama investasi menjadikannya perempuan menua di jalan perlawanan.
Aletheia bisa merasakan bahunya sudah melemah untuk pertama kalinya semenjak ia terlibat bebaris bersama rakyat puluhan tahun silam. Ia tahu apa yang akan terjadi di masa depan, jawaban itu tak perlu ia terka. Sebelumnya ia memilih memenangkan setelah melihat sang Mr tersebut di alun-alun kota tempatnya memanggungkan diri untuk memanggul beban harapan sejarah, “manusia alternatif” dengan slogan Nawacita. Sejak itu, jalan ditakdirkan baginya untuk menang di jalan perlindungan masa depan rakyat.
Pasca munculya Rancangan Undang-Undang Cilaka, yang dirumus dengan ilmu sapujagad Omnibus Law. Aletheia kini dihantui bayangan kerusakan lingkungan yang semakin parah, penegakan hukum yang lemah terhadap pelaku perusakan lingkungan. Baginya ini titik balik kekuasaan, meminjam tangan demokrasi untuk melindungi para investor. Mereka yang punya modal menentukan agenda masa depan bangsa.
Perempuan yang mulai menua itu menahan emosinya, ia berdiri menegakkan tubuhnya. Bagaimana mungkin sebuah ilmu sapujagad yang harus menguasai raga ilmu lain hanya bisa didapat dalam waktu singkat, padahal dalam praktiknya untuk mendapatnya perlu tirakat panjang, perlu ragam guru memberi wejangan untuk sampai tiba di puncak sapujagad Omnibus Law. Jika salah laku, ia berujung sengsara bagi masyarakat.
Aletheia sudah melewati huru-hara berbagai konflik antara kekuasaan pasar dan rakyat. Tapi ia khawatir tak banyak yang menyoal RUU Cilaka sebab prosesnya begitu tertutup bahkan dari siaran Televisi yang ia tonton, ternyata sudah diserahkan ke DPR. Bukankan keterbukaan adalah prasyarat demokrasi, dan mestinya “Jokowi sipil” adalah keterbukaan bagi masyarakat.
Bagi Aletheia, baju kita demokrasi, tapi ia dipakai oleh oligarki. Mereka bebas memakainya untuk apa saja, sementara yang dari sipil malah tak berjiwa sipil. Jokowi memilih menopang negara tanpa kedaulatan rakyat dan lingkungan. Aletheia teringat Puisi dalam Inferno “karena di sini, dalam kegelapan, monster chtonic menanti, tenggelam dalam air semerah darah di laguna yang tak memantulkan bintang-bintang.
Seperti dalam inferno. Aletheia menganggap berita yang muncul merupakan virus cilaka yang disiapkan negara bagi rakyatnya, demi kata investasi yang tak perlu ditanya siapa yang akan berinvestasi. Ini cilaka, kita tak menemukan gerbang perlindungan dari kata demokrasi, ini wujud neo-orde baru desah Aletheia dengan wajah cemas.
Pemerintah Pusat menjadi superior di bawah pimpinan orang sipil. Izin lingkungan dihilangkan, hilangnya perlindungan kepada pekerja outsourcing, kewenangan pemerintah daerah dipangkas, Undang-Undang yang dianggap tidak sesuai dengan RUU Cilaka bisa dirubah dengan peraturan pemerintah. Yang paling teranyar berita yang didapat Aletheia, dalam RUU Cilaka, kepala daerah dapat diberhentikan oleh Kemendagri. Daerah pada akhirnya hanya akan mengelola beragam konflik dari RUU Cilaka.
Mata Aletheia, kembali terpusat ke hutan. Sementara Sekitar 30 meter dari gubuknya, nampak rumah petani bernama Marhaen beratap anyaman alang-alang. Tepat diujung matanya ia melihat Marhaen sedang memanggul cangkul, mungkin ia sedang ingin beranjak kekebunnya yang sekarang menjadi lahan Konflik dengan perusahaan.
Marhaen adalah teman diskusi Aletheia sejak kecil, kebenaran mereka selalu perbincangkan. Pernah suatu ketika Marhaen berseloroh “yang konsisten dengan ajaran bung karno itu saya, Marhaen itu kan petani konon dulu soekarno bertemu dengan petani itu. Sampai hari ini sejak merdeka saya ini tetap Marhaen, tetap petani, modal saya tetap cangkul kalau Politisi sebut Nawacita, sebut Soekarno mana konsistennya”. Samar-samar Aletheia mengingat seloroh Marhaen beberapa bulan silam.
Kita tiba pada cilaka sebab baju kita benar demokrasi tapi dipakai oleh Oligarki. Terimakasih kata Aletheia, kita pernah menyelamatkannya namun kini ia menghacurkan; hidup rakyatnya dan masa depan bangsanya.
(**)